Selasa, 15 Maret 2011

Bai Muthlaq & Murabahah Lil Aamiri Bisy Syiro

Bai’ Muthlaq Dan Bai’ Murabahah Lil Aamiri Bisy Syiro
Bai’ merupakan istilah fiqh untuk jual beli yang secara bahasa berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain[1]. Sedangkan terminology menurut fiqh berarti saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu. Atau menukarkan sesuatu yang disenangi dengan sesuatu yang lain dengan cara tertentu yang dapat dipahami sebagai kegiatan jual beli melalui ijab qabul dan saling menyerahkan.[2]
Kegiatan jual beli merupakan kegiatan yang sifatnya darurriyyah dalam kehidupan bermasyarakat karena fungsi dari kegiatan itu sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan akan suatu barang dengan cara menukarkan barang yang dibutuhkan dengan sesuatu yang diakui sebagai alat tukar (uang). Oleh karena itu, setelah islam datang, islam tidak melarang jual beli akan tetapi mengaturnya agar tidak terjadi ketidak adilan dalam jual beli.
Firman Allah surah Al-baqarah 275, ”Padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS.2:275). Dalam hadits Nabi SAW dinyatakan, “Seorang yang mengambil tali lalu membawa seikat kayu bakar diatas punggungnya lalu menjualnya sehingga dirinya tidak meminta-minta, lebih baik daripada mengemis kepada orang-orang, mereka memberi atau tidak”. (HR bukhori)
Rukun dan Syarat Umum Jual Beli :
1.      Penjual & Pembeli:[3]
a)      Berakal, agar dia tidak terkecoh. Oleh karena itu orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya
b)      Kehendak pribadi. Maksudnya bukan atas paksaan orang lain sesuai dengan surat an nisa ayat 29 yang berbunyi: ”Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan cara yang bathil kecuali dengan perdagangan yang berlaku atas dasar kerelaan diantara kalian, dan janganlah kamu mebunuh dirimu sesungguhnya allah maha penyayang kepadamu”
c)      Baligh. Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak yang belum berumur tapi sudah mengerti menurut sebagian ulama diperbolehkan jual belinya dengn syarat mumayyiz dan tidak merugikan dirinya.
2.      Barang yang dijual       :
a)      Tidak termasuk yang diharamkan/dilarang
b)      Bermanfaat  
c)      Penyerahannya dari penjual ke pembeli dapat dilakukan,
d)      Merupakan hak milik penuh pihak yang  berakad
e)      Sesuai spesifikasi yang diterima pembeli dan diserahkan penjual
3.      Ijab dan Qobul
a.       Harus jelas dan disebutkan secara  spesifik dengan siapa berakad
b.      Antara ijab qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifikasi barang maupun harga yang disepakati
c.       Tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi pada hal / kejadian yang akan datang.
d.      Tidak membatasi waktu, misalnya: saya jual ini kepada anda untuk jangka waktu 12 bulan setelah itu jadi milik saya kembali.  
Bai’ Muthlaq
Bai’ Mutlaq Yaitu kegiatan jual beli berdasarkan persetujuan saling mengikat antara pihak yang menyerahkan barang (penjual), dan pihak yang membayar harga barang yang dijual (pembeli). Bai’ Mutlaq mengharuskan adanya penjual , pembeli, dan barang yang diperjualbelikan pada saat transaksi.[4] Jual beli inilah yang kita kenal pada saat ini dengan jual beli biasa seperti jual beli yang terjadi diwarung, toko dan lainnya
Bai’ Murabahah Lil Aamiri Bisy Syiro (Murabahah KPP)
Murabahah merupakan bentuk mutual (bermakna: saling) dari kata ribh yang artinya keuntungan, yakni pertambahan nilai modal (jadi artinya saling mendapatkan keuntungan). Menurut terminologi ilmu fiqih, bai’ murabahah adalah menjual dengan modal asli bersama tambahan keuntungan yang jelas.[5]Bai’ murabahah mensyaratkan penjual untuk memberitahukan harga beli barang dan keuntungan yang diinginkan kepada pembeli.
Allah swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275:
“…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
Kemudin Al-Hadits Dari Suhaib, bahwa Rasulullah SAW berdabda:
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan,jual beli secara tangguh, Muqaradah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (Riwayat Ibnu Majah)
Hal inilah yang menjadi karakteristik bai’ murabahah dan yang membedakannya dengan bai’ yang lain yang terdapat dalam fiqh mu’amalah. Tidak seperti bai’ mutlaq dan bai’ yang lainnya tanpa memberitahukan harga beli barang dan keuntungan yang diinginkan, asalkan ada kesepakatan harga jual barang, maka terjadi jual beli diantara penjual dan pembeli. Oleh karena dalam bai’ murabahah, penjual harus memberitahukan harga barang dan keuntungan yang diambil, maka penjual dituntut untuk memberikan informasi yang benar dan jujur kepada pembeli.
Contohnya: Pak Andi selaku penjual memenuhi pesanan Pak Budi untuk menyediakan komputer, kemudian pak andi membeli kompter seharga 5juta (termasuk biaya). Setelah komputernya dimiliki pak andi, beliau menjualnya ke pak budi dengan memberitahukan harga beli dan menetapkan keuntungan 10% dari harga belinya kemudian pak budi sepakat dan membeli komputer tersebut. Umumnya murabahah dilakukan karena pembeli tidak punya cukup uang untuk membeli barang yang dibutukannya terutama akad yang digunakan adalah murabahah taqsith.
Syarat Bai’ Murabahah:[6]
1.      penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah dan keuntungan yang diinginkan
2.      kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3.      kontrak harus bebas dari riba
4.      penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian
5.      penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian
Dalam fiqh, jual beli murabahah juga disebut jual beli amanah karena didasarkan pada kepercayaan pembeli terhadap kebenaran informasi yang disampaikan oleh penjual. Penjual tidak boleh mengianati kepercayaan pembeli dengan memberikan informasi yang salah. Allah swt berfirman dalam surat al-anfal ayat 27:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati allah dan rasul-rasul dan janganlah kamu menghianati amanah-amanah yang diberikan kepada kamu padahal kamu mengetahui amanah tersebut”.
Dan rasulullah juga bersabda: “bukanlah dari golongan kami orang yang suka menipu kami”. Apabila penjual menipu pembeli dengan memberikan informasi harga bali/modal barang yang tinggi padahal ternyata harga/modal barang sebenarnya lebih rendah maka pembeli mempunyai khiyar untuk menolak atau meneruskan transaksi menurut pendapat abu hanifah yang rojih[7] dan seandainya pembeli memilih untuk meneruskan maka dia berhak atas harga yang sebenarnya berdasarkan pendapat ulama lainnya. Maliki, syafi’i dan lainnya berpendapat jual beli harus dilanjutkan setelah mengurangi harga beli/modal tadi dengan harga beli sesungguhnya untuk menghindari kerugian dikedua belah pihak, kecuali penjual mengharuskan pembeli membeli barang pada harga tersebut (lebih tinggi dari harga sebenarnya) maka apabila pembeli rela maka dia harus melanjutkan akad semula.[8]
Pada prakteknya, jual beli murabahah dapat dilakukan langsung dengan penjual, dalam artian pembeli tidak memesan terlebih dahulu karena penjual sudah memiliki barang tersebut dan yang kedua murabahah dengan cara pesanan yang sekarang dipraktekkan dilembaga keuangan syariah. Setelah barang pesanan calon pembeli disediakan oleh bank syariah maka baru dilakukan akad murabahah dengan pembeli. Murabahah ini dikenal dengan akad bai’ murabahah lil aamiri bisy syiro dan telah dibolehkan oleh para ulama bahkan istilah murabahah lil aamiri bisy syiro sendiri terdapat dalam kitab Al-Umm imam syafi’i[9] dan praktek sekarang penjual dibolehkan untuk mewakilkan pembelian barang kepada pembeli melalui akad wakalah dan pembeli selaku wakil tidak dilarang untuk menerima fee. Murabahah lil amirĂ­ bisy syiro memang tidak terdapat di zaman rasulullah dan baru terdapat ketika praktek mu’amalah semakin berkembang, tapi keberadaannya pada saat ini bukanlah sebuah bid’ah yang mesti dihilangkan. Hal ini didasarkan pada kaidah yang sudah masyhur yang mengatakan “Tidak ada bid’ah kecuali dalam perkara ibadah dan aqidah”  dan “Asal setiap praktek mu’amalah adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang melarangnya” sedangkan bai’ murabahah lil aamiri bisy syiro adalah perkara mu’amalah bukan ibadah ataupun aqidah dan tidak terdapat satu dalilpun yang melarangnya.
Sedangkan status pesanan nasabah dan wa’ad/janji beli oleh nasabah bersifat mulzim atau wajib dipenuhi berdasarkan pendapat imam malik, tapi jumhur ulama berpendapat sebaliknya. Pendapat yang sesuai dengan kondisi sekarang adalah janji beli calon pembeli diatas bersifat mulzim atau wajib dilaksanakan oleh nasabah karena terdapatnya maslahah mursalah yaitu menghindari kerugian bank syariah akibat pembeli tidak meneruskan akad.
Cara pembayaran bai’ murabahah dalam fiqh dapat dilakukan dengan 3cara yaitu, murabahah naqdan, murabahah muajjal dan murabahah taqsith. Murabahah naqdan yaitu murabahah dengan cara pembayaran cash pada saat transaksi sedangkan murabahah muajjal yaitu murabahah dengan cara penundaan pembayaran hingga pada waktu tertentu berdasarkan kesepakatan yang harus dipenuhi oleh pembeli, kemudian murabahah taqsith yaitu murabahah dengan cara pembayaran dicicil atau melalui tahapan hingga batas waktu tertentu berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, dan akad murabahah jenis inilah yang banyak diaplikasikan dilembaga keuangan syariah.[10]
Salah satu resiko dari akad bai’ murabahah adalah penolakan nasabah untuk membeli barang setelah disediakan oleh bank syariah sehingga bank harus menjual kembali barang tersebut untuk mendapatkan likuiditas. Penolakan ini akan menyebabkan bank syariah menderita kerugian, karena bank sudah mengeluarkan kas berupa biaya-biaya untuk menyediakan barang tersebut. Oleh karena itu, harus ada Jaminan atau tanggungan dalam bai’ murabahah yang dimaksudkan untuk mengetahui keseriusan nasabah dalam mengajukan pembiayaan untuk menghindari tindakan khianat pembeli. Jaminan merupakan salah satu langkah antisipasi bank syariah untuk menghindari kerugian, yang mesti diingat adalah jaminan bukanlah sebagai ganti rugi akibat tidak jadi belinya pembeli dalam fiqh tapi jaminan dimaksudkan untuk mengindari mangkirnya pembeli dari kewajibannya. Jaminan yang dibebankan kepada nasabah umumnya dalam bentuk uang muka. Kalau kita analisa secara sederhana, akad jual beli dengan memberikan uang muka merupakan jual beli gharar karena mengandung ketidak jelasan dalam akadnya. Ketidak jelasan disebabkan karena ‘apabila transaksi dilanjutkan uang muka merupakan bagian dari harga , sedangkan jika transaksi batal maka uang muka menjadi milik penjual’ sehingga yang terjadi adalah spekulasi/judi[11].    
Pada dasarnya, jaminan bukanlah rukun atau syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam bai’ murabahah[12]. Jaminan dalam bentuk uang muka dalam akad bai’ murabahah dibolehkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) berdasarkan ijtihad dengan dasar sadzu dzaro’i, yaitu untuk menghindari kerugian di pihak bank syariah[13]. Syekh Abdul Aziz bin Baz juga membolehkan pensyaratan uang muka dalam akad jual beli[14]. Ada sebuah hadist yan g diriwayatkan oleh Abdul Raziq dari zaid bin aslam “Rasulullah saw ditanya tentang uang muka (urbun) dalam jual beli, maka beliau menghlalkannya”. Seandainya pembeli menolak untuk membeli, maka bank syariah boleh mengambil uang muka untuk mengganti kerugian atas biaya riil yang terjadi. Apabila uang muka untuk menutupi kerugian lebih, maka harus dikembalikan kepada nasabah tapi apabila kurang maka bank syariah berhak meminta kekurangan tersebut kepada nasabah dan nasabah harus memenuhinya. Ketentuan ini berbeda dengan perlakuan uang muka dalam lembaga keuangan konvensional, dimana uang muka seluruhnya menjadi milik lembaga tersebut tanpa memperhatikan hak-hak nasabah[15]. Selain dengan uang muka, penjual juga boleh menjadikan barang/objek yang dijual sebagai jaminan dengan perlakuan yang sama seperti terhadap uang muka diatas. Objek barang tadi boleh disita untuk kemudian dijual dan menutupi hutang pembeli, apabila harga jualnya lebih diatas sisa hutang maka harus dikembalikan ke pembeli tapi jika kurang maka pembeli harus membayar kekurangannya.
Resiko lainnya dalam bai’ murabahah adalah nasabah default atau gagal bayar. Hal ini merupakan kerugian bagi bank syariah. Kegagalan ini bisa terjadi karena memang nasabah benar-benar tidak mampu membayar pada waktunya sesuai kesepakatan diawal atau nasabah lalai dalam menunaikan kewajibannya padahal dia mampu untuk memenuhinya. Apabila debitur dalam kondisi benar-benar tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya sesuai kesepakatan, maka bank syariah harus memberikan keonggaran waktu hingga debitur mampu untuk memenuhi kewajibannya[16]. Allah swt berfirman:
 “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai dia berkelapangan……” (Al-Baqarah: 280)
Yang menjadi masalah dalam akad ini adalah kelalaian nasabah mampu untuk membayar kewajibannya hingga jatuh tempo. Pada dasarnya bank syariah tidak boleh mengenakan sanksi berupa denda kepada nasabah karena jatuh pada riba yang diharamkan, akan tetapi dengan hujjah sadz dzaro’i, untuk memberikan efek jera dan agar nasabah disiplin dalam memenuhi kewajibannya bank syariah boleh mengenakan denda tapi tidak boleh diakui sebagai pendapatan usaha. Bank syariah harus mengakuinya sebagai pendapatan non halal dari denda.[17]
Allah swt berfirman dalam surat al-maidah ayat 1: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...” Kemudian hadist dari rasulullah yang diriwayatkan oleh jama’ah “Menunda-nunda pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kedzaliman….” Dan Menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya” diriwayatkan oleh Nasai dan lainnya.
2.2.5. Aplikasi di Perbankan Syariah
Penjelasan:
1.    Nasabah atau pembeli mengajukan pembiayaan mobil ke bank dengan cara pesanan sesuai spesifikasi yang dinginkan dan berjanji akan membelinya setelah bank memiliki mobi tersebut
2.    Bank membeli mobil tersebut ke dealer dan biasanya tunai
3.    Setelah bank memoliki mobil tersebut yang dibuktikan dengan cek pembelian dan surat-surat penting, bank menjual mobil tersebut kepada pembeli dengan akad murabahah dengan menyebutkan harga beli dan keuntungan yang diinginkan oleh bank dan biasanya pembayaran dilakukan dengan cara cicilan
          Yang rentan diatas adalah kondisinya barang atau mobil tersebut belum dimiliki oleh bank, tetapi bank sudah menjual barang tersebut kepada pembeli dengan akad murabahah sehingga yang terjadi adalah bai’ fidhuli. Hal ini dilarang dengan mendasarkan kepada hadist Nabi saw: “La tabi’ ma laisa ‘ingdak” janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki. Oleh karena itu, bank dilarang menjual barang kecuali barang tersebut benar-benar sudah menjadi milik bank dan ini merupakan tugas Dewan Pengawas Syariah untuk memberikan edukasi dan mengawasi operasional bank syariah.


[1] Mas’adi, A. Ghufron, Fiqh Mu’amalah Kontekstual, hal. 119
[2] Ibid,
[3] Haruen Nasrun, Fiqh Mu’amalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hal. 115 – 116.
[4] Materi Training Muamalat Institute.
[5] Materi MK Fiqh Mu’amalah STEI SEBI oleh Fimansyah
[6] Wahbah zuhaili, Fiqh Mu’amalah Perbankan Syariah,Kapita Selekta Fiqhul Islam wa Adillatuhu, mu’amalat institute, Jakarta, 1999, hal. 1/8-3/8
[7] Ibid, hal. 7/8-8/8
[8] Ibnu rusyd, Bidayatul mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
[9] M. syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hal. 102
[10] Adiwarman A. Kariem, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,
[11] Jurnal SEBI, Islamic Economics & Finance Journal, Vol. 02, Juli 2009, hal 107
[12] Antono, M. Syafi’I, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press: Jakarta, 2009
[13] Fatwa DSN No. 13 tahun 2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah
[14] Syekh Muhammad As Sa’di, Bin Baz, Shaih Utsaimin, dan Shalih bin Fauzan, Jual Beli dalam Islam,
[15] Antono, M. Syafi’I, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press: Jakarta, 2009 hal 104
[16] Ibid, hal 106
[17] Fatwa DSN MUI No. 17 tahun 2000
[18] Skim murabahah, Fiqh Muamalah 1, Firmansyah, SEI.