Kamis, 29 November 2012

Auditing Islamic Financial Institution by Roszaini Haniffa; A Review

Ahmad Baehaqi Mahasiswa S 1 Program Studi Akuntansi Syariah, STEI SEBI Depok baehaqi17@gmail.com 1. Pendahuluan Tujuan dari audit laporan keuangan adalah untuk meningkatkan kepercayaan pengguna laporan keuangan terhadap laporan keuangan apakah telah disusun berdasarkan peraturan yang berlaku atau tidak. Begitu juga dengan laporan keuangan lembaga keuangan syariah (LKS). Tapi, seiring dengan pertumbuhan entitas syariah, ruang lingkup audit konvensional tidak bisa memenuhi kebutuhan pengguna laporan keuangan (stakeholder) LKS. LKS diharuskan untuk mematuhi prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan usahanya sehingga stakeholder LKS membutuhkan informasi apakah LKS telah menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau belum. Hal inilah yang belum dapat diakomodir oleh audit konvensional sehingga diperlukan dimensi baru dalam audit LKS yang tidak hanya memberikan jaminan pernyataan atas laporan keuangan semata tapi juga pernyataan atas pemenuhan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan usaha LKS. 2. Tujuan Audit LKS Audit merupakan elemen penting untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan. Menurut standar audit LKS AAOIFI (2001) ASIFI No. 01 bahwa tujuan dari audit atas laporan keuangan LKS adalah untuk memberikan keyakinan kepada auditor dalam menyatakan pendapat atau opini apakah laporan keuangan LKS telah disusun dalam semua hal yang material sesuai dengan aturan dan prinsip syariah, standar akuntansi AAOIFI dan standar akuntansi yang relevan dengan praktik dinegara dimana LKS beroperasi. Ketidak patuhan LKS terhadap prinsip syariah akan menghadapkan LKS pada risiko operasional dan operasi. Menurut Haniffa, audit LKS tidak hanya sebatas pada review syariah sebagaimana kebutuhan dari stakeholder LKS, tapi lebih dari itu adalah untuk tujuan yang lebih luas, merealisasikan maqashid syariah. Hal ini, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (1973) dalam Nugraha dan Taufik (2012) dikarenakan bahwa basis syariah adalah untuk merealisasikan kemaslahatan bagi masyarakat. Bahkan saat ini, telah ada usaha-usaha untuk mengevaluasi kinerja LKS yang sejalan dengan maqashid syariah, diantaranya adalah Hameed (2004), Mohammed, Dzuljastri, dan Taib (2008), Mohammed & Taib (2009), Kuppusamy, Saleha, dan Samudhram (2010) dan Nugraha & Taufik (2012). 3. Karakteristik Audit LKS Terdapat 4 bagian yang mempunyai peran penting dalam pemenuhan prinsip sharia compliance. 4 bagian tersebut adalah DPS, Auditor Eksternal, Auditor Internal dan Komite Audit dan Tata Kelola. Haniffa menjelaskan dalam bagian ini penguatan peran DPS dalam shari’ah review untuk melakukan ex-post dan auditor eksternal untuk melakukan uji petik kepatuhan syariah berdasarkan uraian DPS. Ex-post yang dilakukan oleh DPS saat ini masih minim dikarenakan program audit syariah yang belum berkembang (Abdul Raham, 2008). Haniffa menjelaskan bahwa DPS dalam melakukan pengawasan syariah dibantu oleh auditor eksternal dengan menyiapkan draft laporan pengujian kepatuhan syariah dan laporan internal sharia review dari auditor internal. Laporan tersebut memudahkan DPS untuk membuat sebuah kesimpulan syariah. Menurut Haniffa, auditor eksternal tidak sebatas memeriksa laporan keuangan industri syariah, atau sebatas meminta opini syariah dari DPS ketika akan memeriksa laporan keuangan (BI, 2008). Auditor eksternal dituntut untuk menyiapkan draft laporan pengujian kepatuhan syariah. dalam hal ini, auditor eksternal juga melakukan uji petik kepatuhan syariah. Peran auditor eksternal tersebut merupakan tanggung jawab seorang auditor untuk memastikan bahwa laporan keuangan industri syariah telah disusun dan disajikan sesuai dengan prinspi syariah (BI, 2008). Menurut standar AAOIFI GSIFI No. 3 DPS dapat memanfaatkan laporan internal syariah review dan laporan tersebut dapat dilakukan oleh departemen audit internal dengan syarat mempunyai kompetensi untuk melakukan review syariah. Aturan yang ditetapkan oleh AAOIFI menunjukkan bahwa auditor internal merupakan perpanjangan tangan dari DPS untuk melakukan sharia review dan tentunya dalam melaksanakan tugasnya auditor internal mendapat arahan dari DPS. Keseluruhan kinerja DPS, Auditor Internal & Auditor Eksternal akan dievaluasi oleh Komite Audit dan Tata Kelola. Hal tersebut karena komite audit dan tata kelola bertanggung jawab untuk memeriksa struktur dan proses pengendalian dan memastikan bahwa LKS menjalankan prinsip syariah. Menurut Haniffa, proses audit syariah yang dilakukan saat ini masih terbatas pada laporan keuangan padahal audit syariah lebih luas dari itu. Audit syariah tidak sebatas pada halal haram sebagaimana dijelaskan sebelumnya tapi juga menjamin tercapainya maqashid syariah. Sebagai sebuah kesimpulan, apa yang ditulis oleh Haniffa ini merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan audit syariah LKS dengan memanfaatkan kondisi realita saat ini. Auditor eksternal menjalankan mekanisme eksternal dalam pengawasan syariah sedangkan DPS, auditor internal dan Komite Audit & Tata Kelola menjalankan mekanisme internal. Tantangan kedepannya adalah auditor eksternal harus meningkatkan kompetensinya untuk melakukan uji petik kepatuhan syariah dan DPS juga harus meningkatkan kompetensi pengetahuan dan pengalaman tentang ekonomi dan perbankan juga audit sehingga kedepannya pelaksanaan ex-post bisa lebih maksimal. Terkait independensi DPS, masih banyak dipertanyakan tapi yang harus dipahami adalah DPS mempunyai kode etik dan pemahaman bahwa apa yang dilakukannya berkaitan dengan hukum syariah dan akan dipertanggungjawabkan kepada Allah swt sehingga diharapkan dapat menjaga independensinya. Referensi: 1. Abdul Rahman, AR. (2008). Sharia Audit for Islamic Financial Services: The Needs & Challenges. ISRA Islamic Finance Seminar (IIFS), 11 November 2008, 2. Haniffa, R. (2008). Auditing Islamic Financial Institution, 3. Nugraha, H. F. & Taufik, M. (2012). Model Penilaian Tingkat Kesehatan Perbankan Syariah: Implementasi Maqashid Indeks di Indonesia & Yordania. Makalah Forum Riset Perbankan Syariah V Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar 4. BI. (2008). Panduan Audit Bank Syariah. BI: Jakarta, 5. AAOIFI. (2001). Accounting, Auditing & Governance for IFI. Manama, Bahrain.

Jumat, 15 April 2011

Wesel Bayar Dalam Situasi Khusus

RESUME DAN CONTOH WESEL BAYAR DALAM SITUASI KHUSUS
(Donald E. Kieso, Jerry J. Weygant & Terry D. Wafield dalam Intermediate Accounting)
Oleh: Ahmad Baehaqi (40109008)
Mahasiswa Prodi Akuntansi Syariah STEI SEBI Depok, Jawa Barat

Akuntansi untuk wesel jangka panjang hampir sama dengan akuntansi obligasi. Sedangkan, jenis-jenis wesel yang ditransaksikan adalah wesel yang diterbitkan pada nilai nominal, wesel yang diterbitkan tidak pada nilai nominal, wesel dengan bunga nol dan wesel dalam situasi khusus. Untuk wesel dalam situasi khusus, wesel bayar dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Wesel diterbitkan untuk kas dan hak-hak lainnya
Adakalanya ketika suatu wesel diterbitkan, hak atau privilege (keistimewaan) tambahan diberikan kepada penerima wesel. Dalam situasi ini, perbedaan antara nilai sekarang hutang dan jumlah kas yang diterima harus dicatat oleh penerbit wesel secara simultan sebagai diskonto (debet) atas wesel itu dan pendapatan yang belum dihasilkan (kredit) atas penjualan masa depan.
Contoh, PT. Harun Yahya menerbitkan wesel senilai $100.000, 5 tahun, suku bunga 10%. Penerima wesel diberikan hak khusus untuk dapat membeli barang dagang sebesar $500.000 dari penerbit wesel lebih kecil dari harga jual selama 5 tahun. Maka ayat jurnalnya adalah:
Jurnalnya adalah:
Kas 100.000
Diskonto atas wesel bayar 37.908
Wesel bayar 100.000
Pendapatan yang belum dihasilkan 37.908
Diskonto yang diamortisasi dan beban bunga diakui setiap menggunakan metode bunga efektif. Sementara Pendapatan yang Belum Dihasilkan diakui sebagai pendapatan dari penjualan barang dagang dan diproratakan atas dasar yang sama dengan jumlah penjualan pemasok kepada pemberi pinjaman setiap periode terhadap total penjualan kepada pemberi pinjaman selama jangka waktu wesel.

2) Wesel diterbitkan untuk propert, barang dan jasa

Pada situasi ini penerbitan wesel dipertimbangkan dengan aset nonkas. Perusahaan menukarkan properti, barang atu jasa dengan wesel bayar sehingga suku bunga dianggap tidak layak karena: 1) tidak ada suku bunga yang ditetapkan, 2) suku bunga yang ditetapkan tidak layak, dan 3) jumlah nominal yang ditetapkan dari instrument hutang itu secara material berbeda dengan harga jual tunai berjalan atas barang yang sama atau serupa atau dari nilai pasar berjalan instrument hutang itu.
Jika tidak ada suku bunga yang ditetapkan, maka suku bunga adalah selisih antara nilai nominal wesel dan nilai wajar properti dan dinyatakan Diskonto jika nilai wesel lebih rendah daripada nilai wajar properti dan sebaliknya dinyatakan dengan Premi.


Contoh, PT Budi Sejahtera (penjual) menjual tanah yang mempunyai harga jual tunai sebesar $ 200.000 kepada PT. Pasti Luhur (pembeli) untuk ditukarkan dengan wesel tanpa bunga PT. Pasti Luhur berjangka 5 tahun senilai $ 293.866. harga jual tunai sebesar $ 200.000 merupakan nilai sekarang dari wesel senilai $ 293.866 yang didiskontokan pada 8% selama 5 tahun. Maka ayat jurnalnya adalah:
Jurnal PT. Pasti Luhur:
Tanah 200.000
Diskonto atas wesel bayar 93.866
Wesel bayar 293.866
Jurnal PT. Budi Sejahtera:
Wesel tagih 293.866
Diskonto atas wesel tagih 93.866
Penjualan 200.000
Keterangan: selama umur 5 tahun, PT. Pasti Luhur menghitung amortisasi secara tahunan, sebagian dari diskonto sebesar $ 93.866 sebagai beban kepembebanan bunga. Sedangkan PT. Budi Sejahtera akan mencatat pendapatan bunga sejumlah $ 93.866 selama periode 5 tahun dengan mengamortisasikan diskonto diatas dengan pendekatan bunga efektif.

3) Bunga terkait (Imputed Interest)

Suku bunga pasar dalam transaksi wesel dapat ditentukan oleh faktor lain yang terlibat dalam transaksi, seperti nilai pasar wajar dari apa yang diberikan atau diterima. Tapi, jika perusahaan tidak dapat menentukan nilai wajar properti, barang atau jasa dan hak lainnya dan jika wesel tersebut tidak mempunyai pasar yang siap menampungnya maka perusahaan harus memperkirakan suku bunga penerapan (suku bunga terkait) untuk menentukan nilai wesel tersebut. Suku bunga terkait berbeda dengan suku bunga ditetapkan pada tanggal wesel diterbitkan, maka Diskonto atau Premi harus diakui dan diamortisasi pada periode berikutnya.
Contoh PT. Umar (B) menerbitkan wesel promes kepada PT. Andi(A) untuk jasa arsitektur pada 31 Desember 2010. Wesel tersebut mempunyai nilai nominal sebesar $550.000, jatuh tempo 31 Desember 2015 dan suku bunga 2% yang akan dibayarkan pada setiap akhir tahun. Nilai wajar jasa arsitektur tidak dapat segera ditentukan, sementara promes tidak dapat segera dipasarkan. Berdasarkan lembaga pemeringkat, bunga terkait 8% di anggap sudah layak dalam situasi ini. Perhitungan dan ayat jurnal terkait:
Perhitungan diskonto:
Nilai nominal wesel $ 550.000
PV= FV (PVF5,8% ); ($ 550.000 x 0,68058) $ 374.319
PV= R (PVF5,8%); ($11.000 X 3,99271) $ 43.920
Nilai sekarang wesel ($ 418.239)
Diskonto atas wesel bayar $ 131.761
Maka jurnal yang harus dibuat untuk tgl 31 Des 2011 adalah:

Ayat Jurnal 31 Desember 2001 :
Bangunan (kontruksi dlm proses) 418.239
Diskonto atas wesel bayar 131.761
Wesel bayar 550.000
Ayat jurnal pembayaran tahun pertama dan amortisasi Diskonto dicatat sebagai berikut :
Beban bunga 33.459*
Diskonto atas wesel bayar 22.459***
Kas 11.000**

*$418.239 x 8% = $33.459 **$550.000 x 2 % =$11.000 ***$33.459 - $11.000 = $22.459

Sumber:
1. Donald E. Kieso, Jerry J. Weygant & Terry D. Wafield, Terjemahan: Intermediate Accounting, Erlangga: Jakarta, 2008 hal 257-259

Selasa, 05 April 2011

Hak Milik Dalam Islam

A. Pengertian Hak Milik
Manusia adalah mahluk sosial, dimana satu individu membutuhkan individu yang lain dalam menghadapi berbagai persoalan hidup untuk memenuhi kebutuhan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena setiap manusia mempunyai kebutuhan, sering terjadi pertentangan-pentertangan kehendak. Oleh karena itu, untuk menjaga keperluan masing-masing perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar tidak melanggar hak-hak yang lainnya. Maka, timbullah hak dan kewajiban diantara sesama manusia salah satunya adalah hak milik. Secara garis besar, hak dibedakan menjadi dua yaitu maal dan ghoiru maal. Hak maal adalah sesuatu yang berkaitan dengan harta seperti pemilikan benda atau hutang-hutang sedangkan ghoiru maal dibagi menjadi dua yaitu hak syakhshi dan hak ‘aini. Hak syakhshi adalah suatu tuntutan yang ditetapkan oleh syara’ dari seseorang terhadap orang lain sedangkan hak ‘aini adalah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. ( Fiqh Mu’amalah, Drs, H. Hendi Suhendi, M.Si, 2008 )
Dilihat dari pembagian diatas hak milik atau milkiyyah termasuk dalam hak ‘aini karena dilihat dari definisinya hak milik adalah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah untuk memiliki, menggunakan, mengambil manfaat, menghabiskan, merusakkan dengan syarat tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
Milik atau almilku berasal dari kata “ malaka – yamliku – milkan “, malaka asy syaia yang berarti memiliki atau mempunyai sesuatu. ( Kamus Arab – Indonesia, Prof. Dr. Mahmud Yunus, 1972 ). Milik menurut bahasa berarti Pemilikan atas sesuatu ( harta ) dan kewenangan bertindak secara bebas terhadapnya.
Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Islam ( Dwi Suwiknyo, SEI. MSI, 2009 ) Almilk yaitu penguasaan terhdap sesuatu yang dimiliki (harta) sedangkan kepemilikan adalah pendapatan seseorang yang diberi wewenang untuk mengalokasikan harta yang dikuasai orang lain dengan keharusan untuk selalu memperhatikan sumber (pihak) yang menguasainya.
Berikut beberapa definisi hak milik atau milkiyyah yang dijelaskan oleh para fuqaha, antara lain:
1) Definisi yang disampaikan Prof. Dr. Wahbah Zuhaily:
“ Milik adalah keistimewaan ( Ikhtishash ) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan syar’i “
2) Definisi yang disampaikan oleh Musthafa Ahmad Azzarqa :
“ Milik adalah keistimewaan ( Ikhtishash ) yang bersifat menghalangi orang lain yang syara’ memberikan kewenangan kepada pemilik ber – tasharruf kecuali terdapat halangan “
3) Definisi yang disampaikan oleh Muhammad Musthafa Assya’labi :

“ Hak milik adalah keistimewaan ( Ikhtishash ) atas suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya ber – tasharruf secara langsung atasnya selama tidak ada halangan syara’ “

4) Definisi yang disampaikan oleh Ali Khafifi :
“ Hak milik adalah keistimewaan ( Ikhtishash ) yang memungkinkan pemiliknya bebas ber – tasharruf dan memanfaatkannya sepanjang tidak ada halangan syara’ “
Seluruh definisi diatas menggunakan kata ikhtishash yang berarti keistimewaan sebagai kata kunci milkiyyah. Jadi milkiyyah adalah keistimwaan, ada 2 keitimewaan dalam konsep hak milik yaitu:
1. Keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkan harta tanpa kehendak atau izin dari pemiliknya
2. Keistimewaan dalam ber – tasharruf. Tasharruf berarti sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa konsekwensi yang berkaitan dengan hak
Jadi kesimpulannya milkiyyah adalah kebebasan dalam bertasharruf ( berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu )terhadap harta kecuali ada halangan tertentu yang diakui oleh syara’ dan menghalangi orang lain untuk memanfaatkan harta tanpa kehendak atau izin dari pemiliknya.
Halangan syara’ ( Al Mani’ ) yang membatasi kebebasan pemilik dalam ber – tasharruf ada 2 macam:
1. Halangan yang disebabkan karena pemilik dipandang tidak cakap secara hukum, seperti anak kecil karena anak kecil dianggap belum mumayyiz atau karena safih ( cacat mental ), atau karena alasan taflish.
2. Halangan yang dimaksudkan untuk melindungi hak orang lain seperti yang berlaku pada harta bersama ( harta campuran ).
Bila diperhatikan secara seksama hak milik adalah konsep hubungan manusia dengan harta, beserta hukum, manfaat dan akibat yang terkait dengannya. Dengan demikian milkiyyah tidak hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat kebendaan ( materi ) saja tapi juga manfaatnya.
B. Sebab – sebab kepemilikan
Hak milik dapat diperoleh melalui sebab – sebab berikut ini:
1. Ihrazul Mubahat ( Penguasaan harta bebas )
Al mubahat adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi ( dikuasai oleh orang lain ) dan tidak ada larangan hukum untuk memilikinya. Jadi Ihrazul mubahat adalah cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki pihak lain. Harta almubahat contohnya tanah mati, ikan dilaut, hewan dan pohon dihutan. Setiap orang berhak untuk memiliki dan menguasai harta benda tersebut berdasarkan batas kemampuannya masing – masing.
Berdasarkan keterangan diatas kepemilikan dengan cara Ihrazul mubahat dapat dilakukan apabila memenuhi 2 sarat berikut:
a) Tidak ada pihak lain yang mandahului melakukan ihrazul mubahat. Seperti dalam kaidah: “ Barang siapa lebih dahulu menguasai harta bebas maka sungguh ia telah memilikinya”
Seperti dalam kasus tanah yang telah digarap dan dicocoki tanaman kemudian ditinggalkan maka tanah tersebut tidak lagi termasuk tanah mati atau harta bebas karena tentunya ketika pemiliknya tinggalkan memberi tanda terlebih dahulu seperti memberikan batas dengan memasang pagar dan sebagainya yang menghalangi orang lain untuk memiliki tanah tersebut.
b) Penguasaan harta tersebut bertujuan untuk dimiliki bukan untuk yang lain.
Jadi kata kunci Ihrazul mubahat adalah harta bebas untuk tujuan dimiliki tidak untuk selain itu. Penguasaan tersebut bisa dengan cara – cara yang lazim seperti memberi batas atau tanda pemilikan.
2. Tawallud ( Anak pinak / berkembang biak )
Tawallud adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yag lainnya atau dalam kaidah dikatakan:
“ Setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh ( muncul ) dari harta milik adalah milik pemiliknya”
Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta benda yang besifat produktif. Harta benda yang bersifat produktif disini berarti benda hidup atau bergerak yang dapat menghasilkan sesuatu yang lain atau baru seperti binatang yang dapat bertelur, beranak menghasilkan susu dan kebun yang dapat menghasilkan buah dan bunga. Benda mati yang tidak bersifat produktif seperti rumah dan mobil tidak berlaku prinsip tawallud karena rumah dan mobil tidak bisa berbunga, bertelur apalagi beranak. Kalau ada keuntungan yang dihasilkan dari mengusahakan harta tersebut maka keuntungannya didasarkan pada hasil usaha kerja ( Tijari ) bukan tawallud.
3. Al Khalafiyah ( penggantian )
Al khalafiyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan yang lama. Penggantian dibedakan menjadi 2 yaitu:
a) Penggantian atas seseorang oleh orang lain seperti pewarisan. Dalam pewarisan
seorang ahli waris menggantikan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang ditinggalkannya.
b) Penggantian benda atas benda yang lainnya seperti terjadi pada tadhmin ( pertanggungan ) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan harta benda orang lain , lewat tadhmin ini terjadi penggantian atau peralihan milik dari pemilik pertama kepemilik kedua.

4. Al Aqdu ( Akad )
Akad adalah pertalian antara iab dengan qabul sesuai dengan ketentuan syara’ yang menimbulkan pengaruh terhadap objek akad. Akad merupakan sebab pemilkan yang paling kuat dan berlaku luas dalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi kekayaan dibandingkan dengan sebab – sebab pemilikan diatas. Dari segi sebab pemilikannya dibedakan menjadi 2 yaitu:


a) Uqud jabbariyah ( akad secara paksa ) yang dilaksanakan oleh otoritas pengadilan
secara langsung atau melalui kuasa hukumnya . seperti paksaan menjual harta untuk melunasi hutang , kekuasaan hakim untuk menjual harta timbunan dalam kasus ihtikar demi kepentingan umum.
b) Tamlik jabbari ( pemilikan secara paksa ) dibedakan menjadi 2 yaitu:
 Pemilikan secara paksa atas maal uqar ( harta tidak bergerak ) yang hendak diual. Hak pemilikan paksa seperti ini dalam fiqh mu’amalah dikenal syu’fah.
 Pemilikan secara paksa untuk kepentingan umum seperti ketika ada kebutuhan untuk perluasan masji karena tidak dapat lagi menampung jama’ah yang jumlahnya banyak, syariat membolehkan untuk pemilikan secara paksa terhadap tanah yang berdekatan dengan masjid sekalipun pemiliknya tidak mau menjualnya.
Dari 4 sebab diataslah seseorang menjadi pemilik suatu harta. Pemilikan ini merupakan keistimewaan bagi seseorang untuk secara bebas ber – tasharruf atau bertindak terhadap harta yang dimilikinya. Pun demikian, Keistimewaan ini tidak bersifat mutlaq karena sekalipun islam menghormati dan melindugi pemilikan harta, penggunaannya tetap tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariat islam atau berbenturan dengan kepentingan umum dan lain - lain.
C. Pembagian macam – macam milkiyyah
Milik yang dibahas dalam fiqh mu’amalah secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Milk Taam, yaitu suatu pemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya bentuk benda ( zat benda ) dan kegunaanya dapat dikuasai. Pemilikan taam dapat diperoleh dengan banyak cara seperti jual beli dll. Kepemilikan jenis ini tidak dibatasi oleh waktu ( selamanya ) dan kepemilikannya tidak dapat dibatalkan kecuali dialihkan atau ada pemindahan kepemilikan kepada pihak lain sesuai ketentuan syariat. Hal ini sesuai dengan prinsip pemilikan, yaitu: “pada prinsipnya milk al-’ain (pemilikan atas benda) sejak awal disertai dengan milk al-manfaat (pemilikan atas manfaat), dan bukan sebaliknya”.
2. Milk Naqish, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut. Bisa memiliki zat bendanya tanpa memiliki manfaatnya ( hak pakai atau manfaat milik orang lain ) dan hal ini tidak dapat diwariskan ( menurut Hanafiyyah ) atau memiliki manfaatnya ( kegunaannya ) saja tanpa memiliki zatnya seperti pada kasus Ijarah. Berbeda dengan Milk Taam, pemilikan jenis ini dibatasi oleh waktu dan pemilikannya dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan prinsip pemilikan, yaitu: “ Pada dasarnya pemilikan sempurna tidak dibatasi oleh waktu tapi pemilikan naqish dibatasi oleh waktu “. Berikut lima hal yang menyebabkan hak pakai/pemilikan manfaat tanpa pemilikan zat bendanya:
1. Peminjaman( I’arah ), para fuqaha berbeda pendapat tentang boleh tidaknya barang pinjaman dipinjamkan kembali. Ulama hanafiyyah dan malikiyyah berpendapat boleh sedangkan syafi’iyyah dan hanabilah melarangnya.
2. Sewa (Ijarah), yaitu pemindahan hak pakai dengan membaya fee
3.Wakaf
4. Wasiyat
5. Ibahah, izin untuk menggunakan sesuatu atau memakainya
Pemilikan manfaat tanpa zat bendanya ini dapat habis atau selesai apabila habis waktu pemanfaatannya sebagaimana akad awal ( seperti dalam kasus sewa atau ijarah ), rusaknya benda atau barang yang digunakan, wafatnya si pengguna ( menurut Hanafiyyah ) dll.
Dilihat dari segi mahal ( tempat ), milik dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Milk ‘Ain atau disebut juga Milk Raqabah, yaitu memiliki semua benda, baik benda tetap ( yang tidak dapat dipindahkan ) maupun benda-benda yang dapat dipindahkan seperti pemilikan rumah, tanah, motor dll.
2. Milk Manfa’ah, yaitu seseorang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu benda, seperti benda hasil meminjam, wakaf dan lainnya.
3. Milk dayn, yaitu pemilikan karena adanya hutang, misalnua sejumlah uang dipinjamkan kepada seseorang atau pengganti benda yang dirusakkan. Hutang wajib dibayar oleh hutang yang berhutang bahkan jika yang berhutang meninggal sebelum membayar hutangnya maka ahli warisnyalah yang berkewajban membayar hutangnya.
Dilihat dari segi shurah ( cara berpautan milik dengan yang dimiliki ), milik dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Milk Mutamayyiz, yaitu sesuatu yang berpautan dengan yang lain yang memiliki batasan-batasan yang dapat memisahkannya dari yang lain. Misalnya adalah antara sebuah mobil dan seekor kerbau sudah jelas batas-batasnya.
2. Milk Musya’ yaitu milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpulan sesuatu, betapa besar atu betapa kecilnya kumpulan itu. Misalnya memiliki sebagian rumah, daging domba dan harta-harta lainnya yang dikongsikan seperti seekor sapi yang dibeli oleh 40 orang untuk disembelih dan dibagikan dagingnya.
Sedangkan apabila dilihat dari segi dapat dimiliki dan dihak milikkan atau tidaknya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Harta yang tidak dapat dimiliki dan dihak milikkan kepada orang lain, misalnya harta milik umum seperti jalanan, jembatan, sungai dll dimana harta atau barang/benda tersebut untuk keperluan umum.
2. Harta yang tidak dapat dimiliki kecuali dengan ketentuan syariah,Seperti hata wakaf, harta baitul maal dll. ( harta wakaf tidak bias dijual atau dihibahkan kecuali dalam kondisi tetentu sepeti mudah rusak atau biaya pengurusannya lebih besar dari nilai hatanya ).
3. Harta yang dapat dimiliki dan dihak milikkan kepada orang lain selain yang disebutkan diatas

D. Pembagian macam – macam kepemilikan
Dalam buku “ Sistem Ekonomi Islam “ ( Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani, 2004 ) secara garis besar kepemilikan dibagi menjadi tiga, yaitu:


1. Kepemilikan individu
Setiap manusia secara fitrah terdorong untuk memenuhi segala kebutuhannya. Manusia selalu berusaha untuk memperoleh kekayaan untuk memenuhi berbagai kebutuhannya karena hal ini selain termasuk perkara yang fitri juga merupakan perkara yang pasti dan harus dilakukan. Oleh karena itu, setiap upaya melarang atau membatasi manusia untuk memperoleh kekayaan tersebut tentu bertentangan dengan fitrah tapi bukan berarti manusia dibiarkan untuk memperoleh kekayaan, mengusahakannya dan mengelolanya dengan cara sesuka hatinya. Syariat memberikan aturan-aturan berkaitan dengan hal ini seperti memberikan keterangan berkaitan sebab-sebab kepemilikan, dan bagaimana ber-tasharruf dengan harta tersebut. Harta yang termasuk kepemilikan ini adalah harta yang bukan merupakan menyangkut kepentingan manusia secara umum seperti rumah, tanah, kebun dll.
2. Kepemilikan umum
Kepemilikan umum adalah izin Syari’ kepada suatu komunitas masyarakat untu sama-sama memanfaatkan benda/barang. Benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan ini adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh syari’ memang diperuntukan bagi suatu kominitas masyarakat, karena mereka masing-masing saling membutuhkan dan syari’ melarang benda tersebut dikuasai oleh seorang saja. Benda-benda ini tampak pada tiga macam, yaitu:
1. Merupakan fasilitas umum; kalau tidak ada didalam suatu negeri atau suatu komunitas maka akan menyebabkan sengketa atau perselisihan dalam mencarinya. Jadi fasilitas umum pada intinya adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum sebagaimana sabda Rasulullah saw: " Kaum muslim bersekutu ( memiliki hak yang sama ) dalam tiga hal: air, padang dan api” ( HR. Abu Daud )
2. Barang tambang yang tidak terbatas
3. Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perseorangan.

3. Kepemilikan negara
Kepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang khalifah atau dalam konteks saat ini adalah pemerintah suatu negara. Benda-benda atau harta yang termasuk kepemilikan negara adalah harta yang tidak termasuk milik umumn namun milik individu/perseorangan (karena harta tersebut dapat dimiliki secara pribadi seperti tanah dan barang-barang bergerak) tapi karena harta tersebut terkait hak kaum muslim secara umum maka harta tersebut tidak termasuk milik individu dan umum tapi menjadi milik negara dan dikelola oleh negara untuk kemaslahatan kaum muslim bersama. E. Kesimpulan Usaha munusia sebagaimana disampaikan dimuka untuk memperoleh kekayaan merupakan hal yang fitri, bahkan merupakan suatu keharusan. Hanya saja dalam mencari kekayaan tadi tidak boleh diserahkan begitu saja kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan semaunya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan sesukanya dan memanfaatkannya dengan sekehendak hatinya. Sebab hal ini hal ini akan menyebabkan gejolak, kerusakan bahkan kenestapaan. ( Ekonomi Miko dalam Pespektif Islam, Drs. Muhammad. MAg, 2004 ).
Oleh karena itu, Islam menjelaskan secara utuh pengertian hak milik, sebab-sebab pemilikan harta, pembagian pemilikan dan berbagai hal yang berkaitan dengan harta yang tentunya semua hal ini tidak lepas dari universalitas islam sebagai agama agar manusia memahami batasan-batasan tentang bagaimana memperoleh harta dan memanfaatkannya. Karena pada hakikatnya semua yang ada di dunia ini adalah titipan atau amanah dari Allah swt yang dimaksudkan agar manusia mampu memanfaatkannya dengan benar dalam rangka beribadah kepada Allah swt. F. Daftar Referensi 1. Qardhawy, yusuf, Dr. 1997. “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam”. Jakarta: Robbani Press
2. An-Nabhany, Syekh Taqiyyuddin. 2010. “ Sistem Ekonomi Islam”. Bogor: Al Azhar Press
3. Muhammad, Drs, MAg. 2004. “Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam”. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
4. Suhendi, Hendi, Drs, Msi. “Fiqh Mu’amalah”
5. Suwiknyo, Dwi, SEI, MSI. 2008. “ Kamus Lengkap Ekonomi Islam” Yogyakarta: Total Media
6. Yunus, Mahmud, Prof, Dr. “Kamus Arab-Indonesia”
7. -----------------------“Fiqh Mu’amalah Kontemporer”

Intervensi Harga Perspektif Ekonomi Islam

A. Intervensi Pemerintah dalam Perspektif Islam
Awal abad ke-20, banyak ahli ekonomi yang berkeyakinan bahwa sistem mekanisme pasar adalah sistem ekonomi yang mewujudkan kegiatan ekonomi yang paling efisien dan kemakmuran masyarakat yang paling optimum (Sadono Sukirno; 2005). Pandangan ini dipelopori oleh Adam Smith, dalam bukunya yang terkenal; “An Inqury into the Nature and Causes of the Wealth of Nations”, yang diterbitkan pada tahun 1776. Konsepnya yang terkenal adalah invisible hand (tangan gaib) yang diartikan sebagai mekanisme pasar, yaitu mekanisme alokasi sumber daya ekonomi yang menjadikan interaksi kekuatan permintaan dan penawaran sebagai dasar utama pertimbangan pengalokasian. Adam Smith sangat percaya bahwa mekanisme pasar akan menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien, jika pemerintah tidak ikut campur dalam perekonomian (tidak ada intervensi pemerintah). Keyakinan ini dilatarbelakangi oleh asumsi-asumsi yang membangun dan melatar belakangi mekanisme pasar yaitu: struktur pasar merupakan pasar persaingan sempurna, informasi sempurna dan simetris, input dan output adalah homogen, para pelaku ekonomi bersifat rasional dan bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan (Prathama Raharja & Mandala Manurung; 2004).
Akhir abad ke-19, muncul pandangan yang mengkritik keyakinan tersebut. Keraguan akan mekanisme pasar muncul setelah terjadi Defresi Besar (Great Depression) perekonomian didunia 1929-1933. Dampaknya tingkat pengangguran di AS naik mencapai 25% lebih, output perekonomian berkurang setengahnya dan tingkat investasi menurun tajam. Jhon Maynard Keynes, seorang ekonom inggris mengkritik mekanisme pasar sebagai penyebab Great Depression karena asumsi yang melatarbelakangi mekanisme pasar lemah dan dianggap terlalu idealis (utopian) dan memberikan usulan pemulihan ekonomi dengan memasukkan peranan pemerintah dalam perekonomian (Sadono Sukirno; 2005). Sejak saat itu, terjadi dikotomi ilmu ekonomi menjadi Mikro dan Makro Ekonomi. Kritik yang ekstrem terhadap sistem ekonomi mekanisme pasar telah melahirkan pemerintahan dengan sistem ekonomi yang baru; pemerintahan komunis dan sistem ekonomi sosialis. Lahirnya sistem ekonomi ini sebagai akibat dari kekecewaan ekonom terhadap sistem mekanisme pasar. Berbeda dengan sistem ekonomi mekanisme pasar yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi, sistem ekonomi sosialis menentukan sepenuhnya kegiatan produksi masyarakat dan membatasi kebebasan masyarakat untuk berproduksi. Tapi runtuhnya pemerintahan komunis pada akhir 1980 dan permulaan tahun 1990 menunjukan bahwa sistem sosialis bukan alternatif yang baik untuk menggantikan sistem ekonomi mekanisme pasar. Yang menjadi penekanan perbedaan dua sistem ekonomi diatas adalah ikut serta tidaknya pemerintah campur tangan dalam perekonomian. Bila kita analisa seksama, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa munculnya pilihan untuk mengikutsertakan pemerintah dalam kegiatan perekonomian karena kegagalan sistem ekonomi mekanisme pasar. Urgensi intervensi pemerintah dalam kegiatan perekonomian mekanisme pasar karena asumsi-asumsi yang melatarbelakangi mekanisme pasar lemah dan pada kenyataannya tidak tejadi. Ini juga yang menginspirasi beberapa negara dunia untuk menganut sistem ekonomi campuran yang menggabungkan antara sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang sekalipun pada kenyataannya lebih cenderung kapitalis.
Dalam islam harga terbentuk oleh kekuatan pasar; interaksi penawaran dan permintaan yang terjadi di pasar dalam kondisi pasar persaingan sempurna, artinya sistem ekonomi islam juga sistem ekonomi mekanisme pasar. Harga terbentuk atas dasar rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga tertentu dan pemerintah mempunyai peranan yang penting untuk menjamin berjalannya pasar secara sempurna, tidak terjadi distorsi ataupun gangguan yang menyebabkan terganggunya mekanisme pasar, sehingga harga yang terbentuk adalah harga yang adil (Ali Sakti; 2007).
Mekanisme pasar islami adalah mekanisme pasar pertengahan, berbeda dengan mekanisme pasar konvensional (kapitalis). Menyerahkan penuh kepada masyarakat untuk berekonomi secara bebas akan melahirkan perilaku moralhazard dimasyarakat; egoisme, individualistis, materialistis, pragmatis dan serakah untuk memiliki segala sesuatu yang merupakan akar dari sistem ekonomi kapitalis. Sedangkan apabila tidak memberikan kebebasan untuk berekonomi; pemerintah membatasi kebebasan dalam berekonomi, masyarakat akan kehilangan kreatifitas untuk berusaha, kehilangan motivasi dan mematikan karakter individu masyarakat. Ekonomi islam berada ditengah-tengah kapitalis dan sosialis, tidak memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berekonomi secara mutlak tapi juga tidak membatasi secara mutlak sehingga akhirnya mematikan karekter individu untuk berusaha. Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi masyarakat mempunyai posisi yang penting untuk menjamin kegiatan perekonomian berjalan lancar, mengatasi terganggunya jalur perdagangan, memfasilitasi masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi, memelihara dan memenuhi kebutuhan asasi mustahik serta mengawasi kegiatan ekonomi agar tidak melanggar aturan-aturan syariah. Jadi, ekonomi islam adalah ekonomi mekanisme pasar dengan menjadikan pemerintah sebagai pengawas dan pengambil kebijakan agar pasar berjalan sesuai mekanismenya. Pentingnya peran pemerintah dalam perekonomian bukan berarti pemerintah boleh ikut campur dalam kegiatan ekonomi secara mutlak termasuk mematok harga. Dalam islam, pemerintah dilarang mematok harga baik diatas atau dibawah harga pasar/harga keseimbangan. Larangan ini didasarkan kepada penolakan rasulullah saw terhadap permintaan sahabat untuk mematok harga pada saat harga melambung tinggi dimadinah. Karena sesungguhnya harga terbentuk oleh pasar (sunnatullah) bukan oleh pemerintah. Intervensi harga dengan mematok harga hanya dibenarkan pada kondisi tertentu saja itupun ditujukan untuk mengembalikan harga pada harga keseimbangannya.

B. Intervensi Harga Barang Komoditi dalam Perspektif Ekonomi Islam

a. Floor Price dan Ceiling Price dalam perspektif islam
Intervensi yang sering dilakukan pemerintah perspektif ekonomi konvensional adalah penetapan harga, yang ditujukan untuk melindungi produsen atau konsumen. Bentuknya adalah dengan menetapkan harga diatas atau dibawah harga pasar. Intervensi harga dilakukan tanpa melakukan pertimbangan penyebab tinggi-rendahnya harga. Apakah terbentuk karena proses alamiah mekanisme pasar atau kerena terdapat penyimpangan. Yang jadi pertimbangan utama adalah dampak apabila harga yang dibentuk oleh pasar terlalu rendah atau tinggi terhadap produsen atau konsumen. Padahal tinggi-rendahnya harga bisa jadi terbentuk oleh proses alamiah mekanisme pasar dan juga akibat penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku pasar untuk memperoleh keuntungan lebih banyak. Identifikasi penyebab tinggi-rendahnya harga menjadi penting, karena hal ini menjadi pertimbangan pemerintah sebelum intervensi harga. Sehingga, pemerintah dapat megambil keputusan intervensi harga yang tepat apabila diketahui proses terbentuknya harga, yaitu terbentuk oleh proses alamiah mekanisme pasar atau penyimpangan, karena seharusnya harga terbentuk oleh kekuatan pasar yaitu interaksi permintaan dan penawaran bukan oleh pemerintah.
Intervensi harga perspektif ekonomi konvensional amat bertolak belakang dengan konsep islam yang lebih mengedepankan Kontrol harga dengan menentukan penyebabnya terlebih dahulu. Apabila penyebabnya adalah proses alamiah (genuine factor) mekanisme pasar maka intervensi dilakukan dalam bentuk intervensi pasar dan apabila penyebabnya adalah penyimpangan (distorsi) maka intervensi dilakukan dengan menghilangkan distorsi tersebut agar harga kembali seperti semula sebelum terjadi distorsi (Adiwarman A. Karim; 2007) bukan dengan mematok harga lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar. Karena dalam pematokan harga oleh pemerintah terdapat unsur keterpaksaan (Taqiyyudin An-Nabhany; 2010) , yaitu konsumen dilarang untuk membeli produk dibawah harga yang telah ditentukan pemerintah atau produsen dilarang untuk menjual produk diatas harga yang telah ditentukan oleh pemerintah untuk melindungi konsumen dari kerugian atau menjaga daya beli konsumen. Sehingga, produsen dan konsumen tidak bisa atau tidak bebas menaikkan atau menurunkan harga sebuah produk. Artinya Harga tidak terbentuk atas dasar rela sama rela atau suka sama suka (An Taradhin Mingkum). Kontrol harga seperti ini dilarang oleh Allah swt. Sahabat Rasululah Anas bin Malik berkata: Harga pada masa Rasulullah saw. membumbung. Lalu para sahabat mengadu kepada Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah, seandainya harga ini engkau tetapkan (tentu tidak membumbung seperti ini)”. Beliau menjawab, “sesungguhnya Allahlah maha pencipta, maha penggenggam, maha melapangkan, maha pemberi rizki dan maha menentukan harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap Allah, sementara tidak ada seorangpun yang menuntutku karena suatu kedzaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah”. (HR. Ahmad).
Intervensi dengan menetapkan harga dibenarkan apabila tidak terdapat cara lain untuk menjaga kepentingan masyarakat umum dan mencegah kemudharatan yang lebih besar kecuali dengan menetapkan harga (Muhammad Tahir Mansoori; 2009). Kebolehan penetapan harga dalam kondisi diatas dibenarkan oleh kaidah fiqh; “Apabila terdapat dua kerusakan dalam satu waktu yang saling membentur, maka yang harus dijaga adalah tidak timbulnya kerusakan yang menimbulkan madharat yang lebih besar dengan mengenyampingkan kerusakan yang madharatnya lebih kecil” (Abdul Hamid Hakim; 1927). Penetapan harga oleh pemerintah akan menimbulkan distorsi dalam mekanisme pasar, tapi apabila penetapan harga tidak dilakukan akan menimbulkan kerusakan dalam perekonomian yang lebih besar daripada tidak melakukan penetapan harga, maka penetapan harga menjadi boleh dilakukan dengan menjaga dan memperhatikan akibat yang ditimbulkannya (tidak aniaya terhadap penjual dan pembeli).
Dalam ekonomi konvensional, Bentuk kebijakan kontrol harga yang sering digunakan adalah menetapkan harga lebih tinggi dari harga keseimbangan pasar; Floor Price (Harga Dasar). Kebijakan ini juga disebut dengan kebijakan harga minimum atau kebijakan harga terendah. Motif kebijakan ini adalah melindungi produsen dari kerugian akibat harga yang dibentuk oleh pasar yang dianggap rendah oleh pemerintah.
Apabila didalam pasar tidak terdapat intervensi, keseimbangan dicapai pada titik E pada harga sebesar P1 dan jumlah barang yang diperjualbelikan adalah sebanyak Q1. jika pemerintah merasa harga P terlalu rendah dan akan menyebabkan tidak memadainya keuntungan yang diperoleh oleh produsen bahkan merugi, pemerintah akan menjalankan kebijakan Floor Price sehingga harga berubah dari P1 menjadi P2. Dengan kebijakan ini maka pemerintah telah merubah permintaan dari Qd1 menjadi Qd2. Akibat kenaikan harga tersebut maka pembeli hanya bersedia membeli sebanyak Q2 sedangkan penjual menawarkan sebanyak Q3. Maka dipasar akan terjadi kelebihan penawaran (Excess Supply). Untuk menghindari terjadinya kemerosotan harga maka pemerintah harus membeli semua kelebihan penawaran dengan harga P2.
Dengan adanya Floor Price, maka surplus produsen bertambah sebesar A dan surplus konsumen menurun sebesar B tapi produsen dan konsumen kedua-duanya akan mengalami kerugian yaitu kehilangan sejumlah surplus (producer and consumer surplus) yang tidak dinikmati (dead weight loss) sebesar B+C, artinya surplus yang dinikmati lebih kecil bila dibandingkan dengan mekanisme pasar. Masalah utama dari kebijakan harga Floor Price adalah terjadinya kelebihan penawaran (excess supply), karena kebijakan harga minimum menyebabkan konsumen hanya bersedia membeli sebanyak Q2 sedangkan barang yang ditawarkan oleh produsen/penjual sebanyak Q3. Konsekwensi bagi pemerintah untuk melindungi produsen dari menurunnya harga karena permintaan yang sedikit adalah membeli semua kelebihan penawaran pada harga P2 sehingga Qd2 adalah Qd dan Qd Pemerintah. Selain dengan cara membeli kelebihan penawaran, pemerintah dapat juga mengekspor kelebihan penawaran keluar negeri (Sadono Sukirno; 2005 hal 136).
Penetapan harga minimum akan menimbulkan distorsi dalam pasar dan perekonomian, salah satunya adalah munculnya pasar gelap (black market); yaitu kegiatan jual beli yang dilakukan tidak secara terbuka dan bertentangan dengan kebijakan harga minimum yang ditetapkan oleh pemerintah yang memperdagangkan barang hasil produksi pada harga pasar. kedepannya, para importir gelap akan berlomba-lomba untuk mendatangkan barang dari tempat lain (M.B. Hendrie Anto; 2003 hal 295) agar harga jualnya sebesar harga pasar. Munculnya black market selalu disertai praktek-praktek kotor Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pihak-pihak berkepentingan. Akibatnya harga barang di pasar resmi tidak akan laku, yang akhirnya produsenpun terpaksa menurunkan harga barangnya agar laku terjual.
Kemudian selain Floor Price, kebijakan penetapan harga yang sering dilakukan dalam ekonomi konvensional adalah Ceiling Price atau penetapan harga maksimum. Bertolak belakang dengan floor price yang menjadikan harga pasar yang dianggap terlalu rendah sebagai dasar untuk penetapan tingkat harga minimum untuk melindungi produsen, maka ceiling price didasarkan pada harga pasar yang dianggap terlalu tinggi oleh pemerintah sehingga harus ditetapkan tingkat harga maksimum untuk melindungi konsumen agar barang yang dijual dapat dijangkau oleh daya belinya.
Apabila didalam pasar tidak terdapat intervensi, keseimbangan dicapai pada titik E pada harga sebesar P1 dan jumlah barang yang diperjualbelikan adalah sebanyak Q1. jika pemerintah merasa harga P terlalu rendah dan akan menyebabkan tidak memadainya keuntungan yang diperoleh oleh produsen bahkan merugi, pemerintah akan menjalankan kebijakan Floor Price sehingga harga berubah dari P1 menjadi P2. Akibat penurunan harga tersebut, penjual hanya menawarkan sebanyak Q2 sedangkan pembeli bersedia membeli sebanyak Q3. Maka dipasar akan terjadi kelebihan penrmintaan (Excess Demand). Dengan adanya kebijakan harga maksimum, konsumen mandapat tambahan surplus namun sama seperti kasus floor price kedua belah pihak sama-sama mengalami kerugian kehilangan surplus yang tidak dapat dinikmati oleh keduanya (dead weight loss). Implikasinya, kelebihan permintaan ini akan mendorong timbulnya pasar gelap yang selanjutnya menimbulkan korupsi, kolusi, ketidakteraturan harga barang dan praktek suap menyuap (Adiwarman A. Karim; 2008 hal 136).
Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penetapan harga minimum dan maksimum, yaitu timbulnya pasar gelap dan praktek kotor KKN tidak dapat dihindari oleh pemerintah. Oleh karenanya, kebijakan pemerintah menetapkan harga minimum dan maksimum dianggap gagal dan tidak menemui tujuannya. Tujuaan awal pemerintah untuk melindungi produsen dari harga yang dianggap terlalu rendah dan melindungi konsumen dari harga yang terlalu tinggi agar mempunyai daya beli nihil bahkan menimbulkan kerugian yang lebih besar dari mekanisme pasar. Kebijakan harga minimum dan maksimum harus dikaji ulang kembali oleh pemerintah sebelum dilaksanakan.
Secara umum, penetapan harga baik dibawah atau diatas harga pasar akan menyebabkan distorsi dalam perekonomian apabila penetapan harga tersebut dilakukan pada kondisi Genuine factors atau pada kondisi Non genuine factor sekalipun, artinya alasan untuk intervensi harga tidak tepat dan bukan pada kondisi dharurat dimana apabila tIdak dilakukan penetapan harga akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat umum. Distorsi tersebut antara lain (M. B. Hendrie Anto; 2003 hal 294) :
1. Terjadi senjang (gap) antara permintaan dan penawaran
2. Senjang tersebut akan menimbulkan kelebihan penawaran (excess supply) dan kelebihan permintaan (excess demand)
3. Surplus yang dinikmati lebih kecil dibandingkan mekanisme pasar
4. Akibat selanjutnya akan muncul pasar-pasar gelap (black market) yang memperdagangkan harga barang pada harga pasar
5. Pembentukan black market seringkali disertai dengan praktek-praktek kotor Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
6. Ketidakteraturan harga barang; Ibnu Qudamah (Ekonomi Islam P3EI-UII; 2009 hal 338)
Dari penjelasan diatas, kita dapat memahami kenapa Rasulullah saw. menolak untuk intervensi harga selama tidak terjadi distorsi pasar. Sahabat Rasululah Anas bin Malik berkata: Harga pada masa Rasulullah saw. membumbung. Lalu para sahabat mengadu kepada Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah, seandainya harga ini engkau tetapkan (tentu tidak membumbung seperti ini)”. Beliau menjawab, “sesungguhnya Allahlah maha pencipta, maha penggenggam, maha melapangkan, maha pemberi rizki dan maha menentukan harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap Allah, sementara tidak ada seorangpun yang menuntutku karena suatu kedzaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah”. (HR. Ahmad).
Penolakan Rasulullah saw untuk menetapkan harga dikarenakan naiknya harga pada saat itu terjadi karena faktor alamiah mekanisme pasar (genuine factor) bukan akibat distorsi. Sekalipun naik turunya harga diakibatkan oleh distorsi maka intervensi yang dikedepankan untuk mengembalikan harga pada harga pasar yang sebenarnya adalah dengan intervensi pasar, sebisa mungkin intervensi harga dihindari.
Seluruh jumhur ulama sepakat menolak intervensi harga. Bahkan, Ibnu Qudamah Al-Maqdisy yang bermazhab Hambali menolak keras intervensi harga. Beliau mengatakan: “Pemerintah tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi masyarakat. Masyarakat boleh menjual barang-barang mereka berapapun harga yang mereka sukai. Argumen yang dipakai oleh para ulama salah satunya adalah hadist diatas yang menyatakan bahwa Rasulullah saw menolak menetapkan harga sekalipun para sahabat menginginkannya kemudian Al-Quran surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan/cara yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas rela sama rela (suka sama suka) diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah maha penyayang kepadamu”.
Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menetapkan harga atas dasar rela sama rela yang digambarkan pada titik keseimbangan (price equilibrium) interaksi kekuatan permintaan dan penawaran. sedangkan intervensi harga adalah bentuk kedzaliman karena didalamnya terdapat unsur keterpaksaan seperti dikatakan oleh Syekh Taqiyyudin An-Nabhany yaitu larangan bagi konsumen untuk membeli produk dibawah harga yang telah ditentukan pemerintah dan melarang produsen/penjual untuk menjual produk diatas harga yang telah ditentukan oleh pemerintah untuk melindungi konsumen agar mempunyai daya beli. Sehingga, produsen dan konsumen tidak bisa menaikkan atau menurunkan harga sebuah produk. Ibnu Qudamah juga menjelaskan bahwa penetapan harga cenderung akan mendorong harga menjadi lebih mahal karena penjual lokal tidak mau menjual barang dagangannya dan menyembunyikannya sampai harga kembali normal. Selain itu, penjual interlokal juga tidak mau menjual barangya didaerah yang harga pasar barangnya diintervensi. Hal ini logis karena kelangkaan barang terjadi akibat keengganan penjual untuk menjual barangnya sehingga harga-harga menjadi lebih mahal. Argumen lainnya, intervensi harga akan menyebabkan distorsi pasar seperti munculnya black market yang disertai praktek kotor KKN. Karena praktek kotor KKN haram hukumnya, maka setiap jalan yang mengarah atau menuju KKN juga diharamkan sesuai kaidah fiqh: “ setiap perkara yang mengarah kepada perbuatan yang diharamkan maka hukumnya juga haram”.


b. Intervensi Harga Islami
Jumhur ulama sepakat bahwa harga yang adil adalah harga yang terbentuk karena interaksi kekuatan penawaran dan permintaan (mekanisme pasar). Mereka juga sepakat menolak intervensi harga oleh pemerintah, kecuali pada kondisi-kondisi tertentu intervensi pemerintah dalam bentuk pengendalian harga dibenarkan. Intervensi harga islami bertujuan untuk mengembalikan harga yang terbentuk akibat terjadinya distorsi pada harga pasar (price equiblirium) atau harga yang adil (qimah al-‘adl) sebagaimana diriwayatkan oleh imam muslim dari Rasulullah saw.
Tercatat ada 4 cendekiawan besar muslim klasik yang berbicara mengenai intervensi harga, yaitu Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali, Ibnu Qudamah dan Ibnu Kholdun. Diantara mereka ada yang mempunyai pandangan yang sama dalam hal intervensi pasar yaitu Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali dan Ibnu Qudamah sedangkan Ibnu Kholdun lebih menekankan pada urgensi mekanisme pasar sekalipun dalam tulisannya ditemukan anjuran untuk intervensi pemerintah tapi tidak tegas (M. B. Hendrie Anto; 2003 hal 297).
Dalam islam, pengendalian harga dilakukan dengan pertimbangan 2hal, yaitu:
1. Jenis penyebab perubahan harga. Secara garis besar penyebab perubahan harga dibagi menjadi 2, yaitu:
 Genuine Factors; adalah faktor-faktor yang bersifat alamiah atau perubahan murni pada sisi demand dan supply (Adiwarman A. Karim, 2008 hal 135). intervensi yang dilakukan adalah dalam bentuk intervensi pasar (market intervention) dengan mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran agar harga yang lebih pas terbentuk. Intervensi pasar dapat dilakukan dengan cara menambah supply barang atau menjamin kelancaran jalur perdagangan seperti dikatakan oleh Ibnu Kholdun. Genuine Factors bersifat; 1. Musiman seperti panen raya, naik turunnya harga hasil panen sangat dipengaruhi oleh supply hasil panen dipasar. Ketika panen raya tiba maka supply barang dipasarpun melimpah dan harga lebih rendah, sebaliknya ketika panen raya belum tiba harga hasil panen kembali naik karena supply hasil panen yang rendah dipasar, 2. Siklus seperti saat menjelang hari raya, karena permintaan pada saat hari raya meningkat maka harga barang juga naik tapi ketika hari raya sudah lewat, permintaan terhadap barang menurun sehingga hargapun kembali turun.
 Non Genuine Factors; faktor-faktor yang bersifat penyimpangan (distorsi) terhadap mekanisme pasar. penyimpangannya sendiri bisa dalam bentuk penyimpangan terstruktur seperti perusahaan monopoli yang bertujuan monopolistic rent (ihtikar) atau penyimpangan tidak terstruktur seperti Bai’ Najasyi, menahan barang dari peredaran (Ihtikar), Tadlis dan lain-lain. Intervensi yang ditempuh oleh pemerintah untuk menstabilkan harga adalah dengan menghilangkan distorsi sehinga harga kembali terbentuk pada titik keseimbangan pasar sebelum terjadi distorsi termasuk dengan cara menetapkan harga (price intervention).
2. Urgensi intervensi harga terhadap kebutuhan masyarakat, yaitu pada kondisi darurat. Seperti dijelaskan diatas, Intervensi harga dibenarkan apabila tidak terdapat cara lain untuk menjaga kepentingan masyarakat umum dan mencegah kemudharatan yang lebih besar kecuali dengan menetapkan harga (Muhammad Tahir Mansoori; 2009). Secara umum kondisi darurat yang dimaksud adalah (M. B. Hendrie Anto; 2003 hal 299):
1. Kenaikan harga diluar kewajaran seperti digambarkan oleh Al Zaylani hingga 2kali lipat dari pasar yang normal sehingga masyarakat tidak mempunyai daya beli,
2. Menyangkut barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya bahan pangan,dan
3. Terjadi ketidak adilan atau eksploitasi antara pelaku-pelaku dalam transaksi tersebut.
Intervensi pasar untuk kasus genuine factors dilakukan dengan cara mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran, salah satunya menjamin kelancaran jalur perdagangan dan atau dengan menambah supplay barang. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan Umar bin Khottob ketika terjadi kenaikan harga gandum diMadinah. Beliau kemudian melakukan impor gandum besar-besaran dari mesir sehingga harga menurun tujuannya agar terjangkau oleh daya beli masyarakat yang lemah akibat harga yang melambung tinggi. Tapi ternyata usaha beliau tidak cukup, kemudian membuat kupon kepada faqir miskin untuk ditukarkan dengan gandum (Yakob; 1983).
Untuk non genuine factors, Bentuk kasusnya yang paling dikecam oleh rasulullah saw adalah ihtikar. Dalam hadistnya yang diriwayatkan oleh imam muslim beliau bersabda: “Tidaklah orang yang melakukan ihtikar itu kecuali ia berdosa” kemudian berikutnya “siapa yang melakukan ihtikar maka ia berdosa” dan hadist dari Abi Umamah, ia berkata: “Rasulullah melarang melakukan ihtikar terhadap bahan makanan pokok”.
Banyaknya hadist yang melarang praktek ihtikar menjadikan dasar kesepekatan bagi para ulama untuk mengharamkannya, karena dilihat dari sisi ekonominya banyak dampak negative dari praktek ihtikar salah satunya harga barang hasil ihtikar menjadi lebih mahal. Tapi, banyaknya pemahaman yang salah berkaitan dengan ihtikar yang menyamakannya dengan monopoli dan penimbunan maka perlu diketahui batasan-batasan yang jelas yang menjelaskan bahwa praktek tersebut adalah ihtikar. Secara umum suatu praktek ekonomi dikategorikan ihtikar apabila:
1. Mengupayakan supply barang dipasar rendah/sedikit baik dengan cara menimbun stock, mengenakan entry barriers atau dengan memproduksi lebih sedikit barang dari kemampuan maksimal untuk memperoleh keuntungan yang lebih banyak (diatas keuntungan normal) khususnya bagi perusahaan monopoli (monopolistic rent)
2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum munculnya kelangkaan
3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum dua komponen diatas dilakukan. (Adiwarman A. Karim; 2008 hal 154)
Praktek ihtikar pada perekonomian modern saat ini adalah monopolistic rent yang dilakukan oleh banyak perusahaan monopoli.
Perusahaan monopili dilarang untuk menentukan harga semaunya. Oleh karena itu, pemerintah melakukan intervensi harga yang berpatokan pada harga pasar. Keuntungan yang besar yang diperoleh oleh monopoli dengan memproduksi barang ketika kurva MR=MC=S tidak dibenarkan, karena sebenarnya perusahaan mampu lebih dari itu untuk memproduksi barang yaitu pada saat kurva S=MC=D sehingga harga yang terbentuk lebih rendah tetapi perusahaan monopoli tetap memperoleh keuntungan yaitu pada posisi keuntungan normal. Intervensi harga seperti ini, tidak akan menimbulkan excess supply atau demand seperti yang terjadi di kenvensional karena intervensi harga islami menetapkan harga pada harga keseimbangannya sebelum terjadi ihtikar bukan menetapkan harga diatas atau dibawah harga keseimbangan. Berikutnya transaksi yang dilarang dalam islam yang akan mengakibatkan distorsi pasar adalah Bai’ Najasyi atau menciptakan permintaan palsu sehingga harga barang yang diminta menjadi lebih mahal. Intervensi harga yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan menghilangkan distorsi sehingga harga kembali terbentuk sebelum terjadi distorsi.
Intervensi harga (dalam bentuk pematokan harga) terjadi karena market price tidak terbentuk yang diakibatkan oleh terjadinya distorsi dalam pasar. Solusi islam agar harga yang terbentuk adalah market price dengan mencegah terjadinya distorsi pasar, bentuknya dengan melarang praktek ihtikar dan bai’ najsyi dan membuka akses informasi dan lainnya. Tugas ini menjadi tanggung jawab pemerintah atau dalam khazanah keilmuan ekonomi islam klasik adalah menjadi tanggung jawab lembaga hisbah. Secara garis besar tugas Al Hisbah adalah melakukan pengawasan terhadap kecukupan barang dan jasa dipasar, perindustrian, jasa, perdagangan, pengawasan kota dan pasar dan pengawasan terhadap keseluruhan pasar. Sehingga dengan adanya pengawasan dari pemerintah atau al hisbah diharapkan distorsi pasar tidak terjadi sehingga harga yang terbentuk adalah harga pasar.
C. Daftar Pustaka
1. Karim, AdiwarmanAzwar, 2008, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta
2. Sukirno, Sadono, 2005, Mikro Ekonomi; Teori Pengantar, Edisi Ketiga, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta
3. Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung, 2004, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro Ekonomi dan Makro Ekonomi), Edisi Revisi, Penerbit FE-UI, Depok-Jawa Barat
4. P3EI UII Yogyakarta, 2009, Ekonomi Islam, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta
5. Mannan, M. A, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta
6. Qardhawi, Yusuf, Dr, 1995, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, Jakarta
7. Jusmaliani, Masyhuri dkk, 2005, Kebijakan Ekonomi dalam Islam, Kreasi Wacana, Yogyakarta
8. Anto, M. B. Hendrie, 2003, Pengantar Ekonomika Mikro Islam, Penerbit FE-UII, Yogyakarta
9. Mansoori, Muhammad Tahir, Prof, Dr, 2010, Kaidah-kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis, Ulil Albab Institut Pasca Sarjana UIKA, Bogor-Jawa Barat
10. Sakti, Ali, 2007, Analisis Teoritis Ekonomi Islam: Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern, Paradigna dan Aqsa Publishing, Jakarta
11. An-Nabhany, Taqiyyudin, 2010, Sistem Ekonomi Islam,........

Selasa, 15 Maret 2011

Bai Muthlaq & Murabahah Lil Aamiri Bisy Syiro

Bai’ Muthlaq Dan Bai’ Murabahah Lil Aamiri Bisy Syiro
Bai’ merupakan istilah fiqh untuk jual beli yang secara bahasa berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain[1]. Sedangkan terminology menurut fiqh berarti saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu. Atau menukarkan sesuatu yang disenangi dengan sesuatu yang lain dengan cara tertentu yang dapat dipahami sebagai kegiatan jual beli melalui ijab qabul dan saling menyerahkan.[2]
Kegiatan jual beli merupakan kegiatan yang sifatnya darurriyyah dalam kehidupan bermasyarakat karena fungsi dari kegiatan itu sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan akan suatu barang dengan cara menukarkan barang yang dibutuhkan dengan sesuatu yang diakui sebagai alat tukar (uang). Oleh karena itu, setelah islam datang, islam tidak melarang jual beli akan tetapi mengaturnya agar tidak terjadi ketidak adilan dalam jual beli.
Firman Allah surah Al-baqarah 275, ”Padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS.2:275). Dalam hadits Nabi SAW dinyatakan, “Seorang yang mengambil tali lalu membawa seikat kayu bakar diatas punggungnya lalu menjualnya sehingga dirinya tidak meminta-minta, lebih baik daripada mengemis kepada orang-orang, mereka memberi atau tidak”. (HR bukhori)
Rukun dan Syarat Umum Jual Beli :
1.      Penjual & Pembeli:[3]
a)      Berakal, agar dia tidak terkecoh. Oleh karena itu orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya
b)      Kehendak pribadi. Maksudnya bukan atas paksaan orang lain sesuai dengan surat an nisa ayat 29 yang berbunyi: ”Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan cara yang bathil kecuali dengan perdagangan yang berlaku atas dasar kerelaan diantara kalian, dan janganlah kamu mebunuh dirimu sesungguhnya allah maha penyayang kepadamu”
c)      Baligh. Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak yang belum berumur tapi sudah mengerti menurut sebagian ulama diperbolehkan jual belinya dengn syarat mumayyiz dan tidak merugikan dirinya.
2.      Barang yang dijual       :
a)      Tidak termasuk yang diharamkan/dilarang
b)      Bermanfaat  
c)      Penyerahannya dari penjual ke pembeli dapat dilakukan,
d)      Merupakan hak milik penuh pihak yang  berakad
e)      Sesuai spesifikasi yang diterima pembeli dan diserahkan penjual
3.      Ijab dan Qobul
a.       Harus jelas dan disebutkan secara  spesifik dengan siapa berakad
b.      Antara ijab qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifikasi barang maupun harga yang disepakati
c.       Tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi pada hal / kejadian yang akan datang.
d.      Tidak membatasi waktu, misalnya: saya jual ini kepada anda untuk jangka waktu 12 bulan setelah itu jadi milik saya kembali.  
Bai’ Muthlaq
Bai’ Mutlaq Yaitu kegiatan jual beli berdasarkan persetujuan saling mengikat antara pihak yang menyerahkan barang (penjual), dan pihak yang membayar harga barang yang dijual (pembeli). Bai’ Mutlaq mengharuskan adanya penjual , pembeli, dan barang yang diperjualbelikan pada saat transaksi.[4] Jual beli inilah yang kita kenal pada saat ini dengan jual beli biasa seperti jual beli yang terjadi diwarung, toko dan lainnya
Bai’ Murabahah Lil Aamiri Bisy Syiro (Murabahah KPP)
Murabahah merupakan bentuk mutual (bermakna: saling) dari kata ribh yang artinya keuntungan, yakni pertambahan nilai modal (jadi artinya saling mendapatkan keuntungan). Menurut terminologi ilmu fiqih, bai’ murabahah adalah menjual dengan modal asli bersama tambahan keuntungan yang jelas.[5]Bai’ murabahah mensyaratkan penjual untuk memberitahukan harga beli barang dan keuntungan yang diinginkan kepada pembeli.
Allah swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275:
“…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
Kemudin Al-Hadits Dari Suhaib, bahwa Rasulullah SAW berdabda:
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan,jual beli secara tangguh, Muqaradah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (Riwayat Ibnu Majah)
Hal inilah yang menjadi karakteristik bai’ murabahah dan yang membedakannya dengan bai’ yang lain yang terdapat dalam fiqh mu’amalah. Tidak seperti bai’ mutlaq dan bai’ yang lainnya tanpa memberitahukan harga beli barang dan keuntungan yang diinginkan, asalkan ada kesepakatan harga jual barang, maka terjadi jual beli diantara penjual dan pembeli. Oleh karena dalam bai’ murabahah, penjual harus memberitahukan harga barang dan keuntungan yang diambil, maka penjual dituntut untuk memberikan informasi yang benar dan jujur kepada pembeli.
Contohnya: Pak Andi selaku penjual memenuhi pesanan Pak Budi untuk menyediakan komputer, kemudian pak andi membeli kompter seharga 5juta (termasuk biaya). Setelah komputernya dimiliki pak andi, beliau menjualnya ke pak budi dengan memberitahukan harga beli dan menetapkan keuntungan 10% dari harga belinya kemudian pak budi sepakat dan membeli komputer tersebut. Umumnya murabahah dilakukan karena pembeli tidak punya cukup uang untuk membeli barang yang dibutukannya terutama akad yang digunakan adalah murabahah taqsith.
Syarat Bai’ Murabahah:[6]
1.      penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah dan keuntungan yang diinginkan
2.      kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3.      kontrak harus bebas dari riba
4.      penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian
5.      penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian
Dalam fiqh, jual beli murabahah juga disebut jual beli amanah karena didasarkan pada kepercayaan pembeli terhadap kebenaran informasi yang disampaikan oleh penjual. Penjual tidak boleh mengianati kepercayaan pembeli dengan memberikan informasi yang salah. Allah swt berfirman dalam surat al-anfal ayat 27:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati allah dan rasul-rasul dan janganlah kamu menghianati amanah-amanah yang diberikan kepada kamu padahal kamu mengetahui amanah tersebut”.
Dan rasulullah juga bersabda: “bukanlah dari golongan kami orang yang suka menipu kami”. Apabila penjual menipu pembeli dengan memberikan informasi harga bali/modal barang yang tinggi padahal ternyata harga/modal barang sebenarnya lebih rendah maka pembeli mempunyai khiyar untuk menolak atau meneruskan transaksi menurut pendapat abu hanifah yang rojih[7] dan seandainya pembeli memilih untuk meneruskan maka dia berhak atas harga yang sebenarnya berdasarkan pendapat ulama lainnya. Maliki, syafi’i dan lainnya berpendapat jual beli harus dilanjutkan setelah mengurangi harga beli/modal tadi dengan harga beli sesungguhnya untuk menghindari kerugian dikedua belah pihak, kecuali penjual mengharuskan pembeli membeli barang pada harga tersebut (lebih tinggi dari harga sebenarnya) maka apabila pembeli rela maka dia harus melanjutkan akad semula.[8]
Pada prakteknya, jual beli murabahah dapat dilakukan langsung dengan penjual, dalam artian pembeli tidak memesan terlebih dahulu karena penjual sudah memiliki barang tersebut dan yang kedua murabahah dengan cara pesanan yang sekarang dipraktekkan dilembaga keuangan syariah. Setelah barang pesanan calon pembeli disediakan oleh bank syariah maka baru dilakukan akad murabahah dengan pembeli. Murabahah ini dikenal dengan akad bai’ murabahah lil aamiri bisy syiro dan telah dibolehkan oleh para ulama bahkan istilah murabahah lil aamiri bisy syiro sendiri terdapat dalam kitab Al-Umm imam syafi’i[9] dan praktek sekarang penjual dibolehkan untuk mewakilkan pembelian barang kepada pembeli melalui akad wakalah dan pembeli selaku wakil tidak dilarang untuk menerima fee. Murabahah lil amirí bisy syiro memang tidak terdapat di zaman rasulullah dan baru terdapat ketika praktek mu’amalah semakin berkembang, tapi keberadaannya pada saat ini bukanlah sebuah bid’ah yang mesti dihilangkan. Hal ini didasarkan pada kaidah yang sudah masyhur yang mengatakan “Tidak ada bid’ah kecuali dalam perkara ibadah dan aqidah”  dan “Asal setiap praktek mu’amalah adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang melarangnya” sedangkan bai’ murabahah lil aamiri bisy syiro adalah perkara mu’amalah bukan ibadah ataupun aqidah dan tidak terdapat satu dalilpun yang melarangnya.
Sedangkan status pesanan nasabah dan wa’ad/janji beli oleh nasabah bersifat mulzim atau wajib dipenuhi berdasarkan pendapat imam malik, tapi jumhur ulama berpendapat sebaliknya. Pendapat yang sesuai dengan kondisi sekarang adalah janji beli calon pembeli diatas bersifat mulzim atau wajib dilaksanakan oleh nasabah karena terdapatnya maslahah mursalah yaitu menghindari kerugian bank syariah akibat pembeli tidak meneruskan akad.
Cara pembayaran bai’ murabahah dalam fiqh dapat dilakukan dengan 3cara yaitu, murabahah naqdan, murabahah muajjal dan murabahah taqsith. Murabahah naqdan yaitu murabahah dengan cara pembayaran cash pada saat transaksi sedangkan murabahah muajjal yaitu murabahah dengan cara penundaan pembayaran hingga pada waktu tertentu berdasarkan kesepakatan yang harus dipenuhi oleh pembeli, kemudian murabahah taqsith yaitu murabahah dengan cara pembayaran dicicil atau melalui tahapan hingga batas waktu tertentu berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, dan akad murabahah jenis inilah yang banyak diaplikasikan dilembaga keuangan syariah.[10]
Salah satu resiko dari akad bai’ murabahah adalah penolakan nasabah untuk membeli barang setelah disediakan oleh bank syariah sehingga bank harus menjual kembali barang tersebut untuk mendapatkan likuiditas. Penolakan ini akan menyebabkan bank syariah menderita kerugian, karena bank sudah mengeluarkan kas berupa biaya-biaya untuk menyediakan barang tersebut. Oleh karena itu, harus ada Jaminan atau tanggungan dalam bai’ murabahah yang dimaksudkan untuk mengetahui keseriusan nasabah dalam mengajukan pembiayaan untuk menghindari tindakan khianat pembeli. Jaminan merupakan salah satu langkah antisipasi bank syariah untuk menghindari kerugian, yang mesti diingat adalah jaminan bukanlah sebagai ganti rugi akibat tidak jadi belinya pembeli dalam fiqh tapi jaminan dimaksudkan untuk mengindari mangkirnya pembeli dari kewajibannya. Jaminan yang dibebankan kepada nasabah umumnya dalam bentuk uang muka. Kalau kita analisa secara sederhana, akad jual beli dengan memberikan uang muka merupakan jual beli gharar karena mengandung ketidak jelasan dalam akadnya. Ketidak jelasan disebabkan karena ‘apabila transaksi dilanjutkan uang muka merupakan bagian dari harga , sedangkan jika transaksi batal maka uang muka menjadi milik penjual’ sehingga yang terjadi adalah spekulasi/judi[11].    
Pada dasarnya, jaminan bukanlah rukun atau syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam bai’ murabahah[12]. Jaminan dalam bentuk uang muka dalam akad bai’ murabahah dibolehkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) berdasarkan ijtihad dengan dasar sadzu dzaro’i, yaitu untuk menghindari kerugian di pihak bank syariah[13]. Syekh Abdul Aziz bin Baz juga membolehkan pensyaratan uang muka dalam akad jual beli[14]. Ada sebuah hadist yan g diriwayatkan oleh Abdul Raziq dari zaid bin aslam “Rasulullah saw ditanya tentang uang muka (urbun) dalam jual beli, maka beliau menghlalkannya”. Seandainya pembeli menolak untuk membeli, maka bank syariah boleh mengambil uang muka untuk mengganti kerugian atas biaya riil yang terjadi. Apabila uang muka untuk menutupi kerugian lebih, maka harus dikembalikan kepada nasabah tapi apabila kurang maka bank syariah berhak meminta kekurangan tersebut kepada nasabah dan nasabah harus memenuhinya. Ketentuan ini berbeda dengan perlakuan uang muka dalam lembaga keuangan konvensional, dimana uang muka seluruhnya menjadi milik lembaga tersebut tanpa memperhatikan hak-hak nasabah[15]. Selain dengan uang muka, penjual juga boleh menjadikan barang/objek yang dijual sebagai jaminan dengan perlakuan yang sama seperti terhadap uang muka diatas. Objek barang tadi boleh disita untuk kemudian dijual dan menutupi hutang pembeli, apabila harga jualnya lebih diatas sisa hutang maka harus dikembalikan ke pembeli tapi jika kurang maka pembeli harus membayar kekurangannya.
Resiko lainnya dalam bai’ murabahah adalah nasabah default atau gagal bayar. Hal ini merupakan kerugian bagi bank syariah. Kegagalan ini bisa terjadi karena memang nasabah benar-benar tidak mampu membayar pada waktunya sesuai kesepakatan diawal atau nasabah lalai dalam menunaikan kewajibannya padahal dia mampu untuk memenuhinya. Apabila debitur dalam kondisi benar-benar tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya sesuai kesepakatan, maka bank syariah harus memberikan keonggaran waktu hingga debitur mampu untuk memenuhi kewajibannya[16]. Allah swt berfirman:
 “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai dia berkelapangan……” (Al-Baqarah: 280)
Yang menjadi masalah dalam akad ini adalah kelalaian nasabah mampu untuk membayar kewajibannya hingga jatuh tempo. Pada dasarnya bank syariah tidak boleh mengenakan sanksi berupa denda kepada nasabah karena jatuh pada riba yang diharamkan, akan tetapi dengan hujjah sadz dzaro’i, untuk memberikan efek jera dan agar nasabah disiplin dalam memenuhi kewajibannya bank syariah boleh mengenakan denda tapi tidak boleh diakui sebagai pendapatan usaha. Bank syariah harus mengakuinya sebagai pendapatan non halal dari denda.[17]
Allah swt berfirman dalam surat al-maidah ayat 1: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...” Kemudian hadist dari rasulullah yang diriwayatkan oleh jama’ah “Menunda-nunda pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kedzaliman….” Dan Menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya” diriwayatkan oleh Nasai dan lainnya.
2.2.5. Aplikasi di Perbankan Syariah
Penjelasan:
1.    Nasabah atau pembeli mengajukan pembiayaan mobil ke bank dengan cara pesanan sesuai spesifikasi yang dinginkan dan berjanji akan membelinya setelah bank memiliki mobi tersebut
2.    Bank membeli mobil tersebut ke dealer dan biasanya tunai
3.    Setelah bank memoliki mobil tersebut yang dibuktikan dengan cek pembelian dan surat-surat penting, bank menjual mobil tersebut kepada pembeli dengan akad murabahah dengan menyebutkan harga beli dan keuntungan yang diinginkan oleh bank dan biasanya pembayaran dilakukan dengan cara cicilan
          Yang rentan diatas adalah kondisinya barang atau mobil tersebut belum dimiliki oleh bank, tetapi bank sudah menjual barang tersebut kepada pembeli dengan akad murabahah sehingga yang terjadi adalah bai’ fidhuli. Hal ini dilarang dengan mendasarkan kepada hadist Nabi saw: “La tabi’ ma laisa ‘ingdak” janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki. Oleh karena itu, bank dilarang menjual barang kecuali barang tersebut benar-benar sudah menjadi milik bank dan ini merupakan tugas Dewan Pengawas Syariah untuk memberikan edukasi dan mengawasi operasional bank syariah.


[1] Mas’adi, A. Ghufron, Fiqh Mu’amalah Kontekstual, hal. 119
[2] Ibid,
[3] Haruen Nasrun, Fiqh Mu’amalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hal. 115 – 116.
[4] Materi Training Muamalat Institute.
[5] Materi MK Fiqh Mu’amalah STEI SEBI oleh Fimansyah
[6] Wahbah zuhaili, Fiqh Mu’amalah Perbankan Syariah,Kapita Selekta Fiqhul Islam wa Adillatuhu, mu’amalat institute, Jakarta, 1999, hal. 1/8-3/8
[7] Ibid, hal. 7/8-8/8
[8] Ibnu rusyd, Bidayatul mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
[9] M. syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hal. 102
[10] Adiwarman A. Kariem, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,
[11] Jurnal SEBI, Islamic Economics & Finance Journal, Vol. 02, Juli 2009, hal 107
[12] Antono, M. Syafi’I, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press: Jakarta, 2009
[13] Fatwa DSN No. 13 tahun 2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah
[14] Syekh Muhammad As Sa’di, Bin Baz, Shaih Utsaimin, dan Shalih bin Fauzan, Jual Beli dalam Islam,
[15] Antono, M. Syafi’I, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press: Jakarta, 2009 hal 104
[16] Ibid, hal 106
[17] Fatwa DSN MUI No. 17 tahun 2000
[18] Skim murabahah, Fiqh Muamalah 1, Firmansyah, SEI.