Selasa, 05 April 2011

Intervensi Harga Perspektif Ekonomi Islam

A. Intervensi Pemerintah dalam Perspektif Islam
Awal abad ke-20, banyak ahli ekonomi yang berkeyakinan bahwa sistem mekanisme pasar adalah sistem ekonomi yang mewujudkan kegiatan ekonomi yang paling efisien dan kemakmuran masyarakat yang paling optimum (Sadono Sukirno; 2005). Pandangan ini dipelopori oleh Adam Smith, dalam bukunya yang terkenal; “An Inqury into the Nature and Causes of the Wealth of Nations”, yang diterbitkan pada tahun 1776. Konsepnya yang terkenal adalah invisible hand (tangan gaib) yang diartikan sebagai mekanisme pasar, yaitu mekanisme alokasi sumber daya ekonomi yang menjadikan interaksi kekuatan permintaan dan penawaran sebagai dasar utama pertimbangan pengalokasian. Adam Smith sangat percaya bahwa mekanisme pasar akan menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien, jika pemerintah tidak ikut campur dalam perekonomian (tidak ada intervensi pemerintah). Keyakinan ini dilatarbelakangi oleh asumsi-asumsi yang membangun dan melatar belakangi mekanisme pasar yaitu: struktur pasar merupakan pasar persaingan sempurna, informasi sempurna dan simetris, input dan output adalah homogen, para pelaku ekonomi bersifat rasional dan bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan (Prathama Raharja & Mandala Manurung; 2004).
Akhir abad ke-19, muncul pandangan yang mengkritik keyakinan tersebut. Keraguan akan mekanisme pasar muncul setelah terjadi Defresi Besar (Great Depression) perekonomian didunia 1929-1933. Dampaknya tingkat pengangguran di AS naik mencapai 25% lebih, output perekonomian berkurang setengahnya dan tingkat investasi menurun tajam. Jhon Maynard Keynes, seorang ekonom inggris mengkritik mekanisme pasar sebagai penyebab Great Depression karena asumsi yang melatarbelakangi mekanisme pasar lemah dan dianggap terlalu idealis (utopian) dan memberikan usulan pemulihan ekonomi dengan memasukkan peranan pemerintah dalam perekonomian (Sadono Sukirno; 2005). Sejak saat itu, terjadi dikotomi ilmu ekonomi menjadi Mikro dan Makro Ekonomi. Kritik yang ekstrem terhadap sistem ekonomi mekanisme pasar telah melahirkan pemerintahan dengan sistem ekonomi yang baru; pemerintahan komunis dan sistem ekonomi sosialis. Lahirnya sistem ekonomi ini sebagai akibat dari kekecewaan ekonom terhadap sistem mekanisme pasar. Berbeda dengan sistem ekonomi mekanisme pasar yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi, sistem ekonomi sosialis menentukan sepenuhnya kegiatan produksi masyarakat dan membatasi kebebasan masyarakat untuk berproduksi. Tapi runtuhnya pemerintahan komunis pada akhir 1980 dan permulaan tahun 1990 menunjukan bahwa sistem sosialis bukan alternatif yang baik untuk menggantikan sistem ekonomi mekanisme pasar. Yang menjadi penekanan perbedaan dua sistem ekonomi diatas adalah ikut serta tidaknya pemerintah campur tangan dalam perekonomian. Bila kita analisa seksama, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa munculnya pilihan untuk mengikutsertakan pemerintah dalam kegiatan perekonomian karena kegagalan sistem ekonomi mekanisme pasar. Urgensi intervensi pemerintah dalam kegiatan perekonomian mekanisme pasar karena asumsi-asumsi yang melatarbelakangi mekanisme pasar lemah dan pada kenyataannya tidak tejadi. Ini juga yang menginspirasi beberapa negara dunia untuk menganut sistem ekonomi campuran yang menggabungkan antara sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang sekalipun pada kenyataannya lebih cenderung kapitalis.
Dalam islam harga terbentuk oleh kekuatan pasar; interaksi penawaran dan permintaan yang terjadi di pasar dalam kondisi pasar persaingan sempurna, artinya sistem ekonomi islam juga sistem ekonomi mekanisme pasar. Harga terbentuk atas dasar rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga tertentu dan pemerintah mempunyai peranan yang penting untuk menjamin berjalannya pasar secara sempurna, tidak terjadi distorsi ataupun gangguan yang menyebabkan terganggunya mekanisme pasar, sehingga harga yang terbentuk adalah harga yang adil (Ali Sakti; 2007).
Mekanisme pasar islami adalah mekanisme pasar pertengahan, berbeda dengan mekanisme pasar konvensional (kapitalis). Menyerahkan penuh kepada masyarakat untuk berekonomi secara bebas akan melahirkan perilaku moralhazard dimasyarakat; egoisme, individualistis, materialistis, pragmatis dan serakah untuk memiliki segala sesuatu yang merupakan akar dari sistem ekonomi kapitalis. Sedangkan apabila tidak memberikan kebebasan untuk berekonomi; pemerintah membatasi kebebasan dalam berekonomi, masyarakat akan kehilangan kreatifitas untuk berusaha, kehilangan motivasi dan mematikan karakter individu masyarakat. Ekonomi islam berada ditengah-tengah kapitalis dan sosialis, tidak memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berekonomi secara mutlak tapi juga tidak membatasi secara mutlak sehingga akhirnya mematikan karekter individu untuk berusaha. Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi masyarakat mempunyai posisi yang penting untuk menjamin kegiatan perekonomian berjalan lancar, mengatasi terganggunya jalur perdagangan, memfasilitasi masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi, memelihara dan memenuhi kebutuhan asasi mustahik serta mengawasi kegiatan ekonomi agar tidak melanggar aturan-aturan syariah. Jadi, ekonomi islam adalah ekonomi mekanisme pasar dengan menjadikan pemerintah sebagai pengawas dan pengambil kebijakan agar pasar berjalan sesuai mekanismenya. Pentingnya peran pemerintah dalam perekonomian bukan berarti pemerintah boleh ikut campur dalam kegiatan ekonomi secara mutlak termasuk mematok harga. Dalam islam, pemerintah dilarang mematok harga baik diatas atau dibawah harga pasar/harga keseimbangan. Larangan ini didasarkan kepada penolakan rasulullah saw terhadap permintaan sahabat untuk mematok harga pada saat harga melambung tinggi dimadinah. Karena sesungguhnya harga terbentuk oleh pasar (sunnatullah) bukan oleh pemerintah. Intervensi harga dengan mematok harga hanya dibenarkan pada kondisi tertentu saja itupun ditujukan untuk mengembalikan harga pada harga keseimbangannya.

B. Intervensi Harga Barang Komoditi dalam Perspektif Ekonomi Islam

a. Floor Price dan Ceiling Price dalam perspektif islam
Intervensi yang sering dilakukan pemerintah perspektif ekonomi konvensional adalah penetapan harga, yang ditujukan untuk melindungi produsen atau konsumen. Bentuknya adalah dengan menetapkan harga diatas atau dibawah harga pasar. Intervensi harga dilakukan tanpa melakukan pertimbangan penyebab tinggi-rendahnya harga. Apakah terbentuk karena proses alamiah mekanisme pasar atau kerena terdapat penyimpangan. Yang jadi pertimbangan utama adalah dampak apabila harga yang dibentuk oleh pasar terlalu rendah atau tinggi terhadap produsen atau konsumen. Padahal tinggi-rendahnya harga bisa jadi terbentuk oleh proses alamiah mekanisme pasar dan juga akibat penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku pasar untuk memperoleh keuntungan lebih banyak. Identifikasi penyebab tinggi-rendahnya harga menjadi penting, karena hal ini menjadi pertimbangan pemerintah sebelum intervensi harga. Sehingga, pemerintah dapat megambil keputusan intervensi harga yang tepat apabila diketahui proses terbentuknya harga, yaitu terbentuk oleh proses alamiah mekanisme pasar atau penyimpangan, karena seharusnya harga terbentuk oleh kekuatan pasar yaitu interaksi permintaan dan penawaran bukan oleh pemerintah.
Intervensi harga perspektif ekonomi konvensional amat bertolak belakang dengan konsep islam yang lebih mengedepankan Kontrol harga dengan menentukan penyebabnya terlebih dahulu. Apabila penyebabnya adalah proses alamiah (genuine factor) mekanisme pasar maka intervensi dilakukan dalam bentuk intervensi pasar dan apabila penyebabnya adalah penyimpangan (distorsi) maka intervensi dilakukan dengan menghilangkan distorsi tersebut agar harga kembali seperti semula sebelum terjadi distorsi (Adiwarman A. Karim; 2007) bukan dengan mematok harga lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar. Karena dalam pematokan harga oleh pemerintah terdapat unsur keterpaksaan (Taqiyyudin An-Nabhany; 2010) , yaitu konsumen dilarang untuk membeli produk dibawah harga yang telah ditentukan pemerintah atau produsen dilarang untuk menjual produk diatas harga yang telah ditentukan oleh pemerintah untuk melindungi konsumen dari kerugian atau menjaga daya beli konsumen. Sehingga, produsen dan konsumen tidak bisa atau tidak bebas menaikkan atau menurunkan harga sebuah produk. Artinya Harga tidak terbentuk atas dasar rela sama rela atau suka sama suka (An Taradhin Mingkum). Kontrol harga seperti ini dilarang oleh Allah swt. Sahabat Rasululah Anas bin Malik berkata: Harga pada masa Rasulullah saw. membumbung. Lalu para sahabat mengadu kepada Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah, seandainya harga ini engkau tetapkan (tentu tidak membumbung seperti ini)”. Beliau menjawab, “sesungguhnya Allahlah maha pencipta, maha penggenggam, maha melapangkan, maha pemberi rizki dan maha menentukan harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap Allah, sementara tidak ada seorangpun yang menuntutku karena suatu kedzaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah”. (HR. Ahmad).
Intervensi dengan menetapkan harga dibenarkan apabila tidak terdapat cara lain untuk menjaga kepentingan masyarakat umum dan mencegah kemudharatan yang lebih besar kecuali dengan menetapkan harga (Muhammad Tahir Mansoori; 2009). Kebolehan penetapan harga dalam kondisi diatas dibenarkan oleh kaidah fiqh; “Apabila terdapat dua kerusakan dalam satu waktu yang saling membentur, maka yang harus dijaga adalah tidak timbulnya kerusakan yang menimbulkan madharat yang lebih besar dengan mengenyampingkan kerusakan yang madharatnya lebih kecil” (Abdul Hamid Hakim; 1927). Penetapan harga oleh pemerintah akan menimbulkan distorsi dalam mekanisme pasar, tapi apabila penetapan harga tidak dilakukan akan menimbulkan kerusakan dalam perekonomian yang lebih besar daripada tidak melakukan penetapan harga, maka penetapan harga menjadi boleh dilakukan dengan menjaga dan memperhatikan akibat yang ditimbulkannya (tidak aniaya terhadap penjual dan pembeli).
Dalam ekonomi konvensional, Bentuk kebijakan kontrol harga yang sering digunakan adalah menetapkan harga lebih tinggi dari harga keseimbangan pasar; Floor Price (Harga Dasar). Kebijakan ini juga disebut dengan kebijakan harga minimum atau kebijakan harga terendah. Motif kebijakan ini adalah melindungi produsen dari kerugian akibat harga yang dibentuk oleh pasar yang dianggap rendah oleh pemerintah.
Apabila didalam pasar tidak terdapat intervensi, keseimbangan dicapai pada titik E pada harga sebesar P1 dan jumlah barang yang diperjualbelikan adalah sebanyak Q1. jika pemerintah merasa harga P terlalu rendah dan akan menyebabkan tidak memadainya keuntungan yang diperoleh oleh produsen bahkan merugi, pemerintah akan menjalankan kebijakan Floor Price sehingga harga berubah dari P1 menjadi P2. Dengan kebijakan ini maka pemerintah telah merubah permintaan dari Qd1 menjadi Qd2. Akibat kenaikan harga tersebut maka pembeli hanya bersedia membeli sebanyak Q2 sedangkan penjual menawarkan sebanyak Q3. Maka dipasar akan terjadi kelebihan penawaran (Excess Supply). Untuk menghindari terjadinya kemerosotan harga maka pemerintah harus membeli semua kelebihan penawaran dengan harga P2.
Dengan adanya Floor Price, maka surplus produsen bertambah sebesar A dan surplus konsumen menurun sebesar B tapi produsen dan konsumen kedua-duanya akan mengalami kerugian yaitu kehilangan sejumlah surplus (producer and consumer surplus) yang tidak dinikmati (dead weight loss) sebesar B+C, artinya surplus yang dinikmati lebih kecil bila dibandingkan dengan mekanisme pasar. Masalah utama dari kebijakan harga Floor Price adalah terjadinya kelebihan penawaran (excess supply), karena kebijakan harga minimum menyebabkan konsumen hanya bersedia membeli sebanyak Q2 sedangkan barang yang ditawarkan oleh produsen/penjual sebanyak Q3. Konsekwensi bagi pemerintah untuk melindungi produsen dari menurunnya harga karena permintaan yang sedikit adalah membeli semua kelebihan penawaran pada harga P2 sehingga Qd2 adalah Qd dan Qd Pemerintah. Selain dengan cara membeli kelebihan penawaran, pemerintah dapat juga mengekspor kelebihan penawaran keluar negeri (Sadono Sukirno; 2005 hal 136).
Penetapan harga minimum akan menimbulkan distorsi dalam pasar dan perekonomian, salah satunya adalah munculnya pasar gelap (black market); yaitu kegiatan jual beli yang dilakukan tidak secara terbuka dan bertentangan dengan kebijakan harga minimum yang ditetapkan oleh pemerintah yang memperdagangkan barang hasil produksi pada harga pasar. kedepannya, para importir gelap akan berlomba-lomba untuk mendatangkan barang dari tempat lain (M.B. Hendrie Anto; 2003 hal 295) agar harga jualnya sebesar harga pasar. Munculnya black market selalu disertai praktek-praktek kotor Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pihak-pihak berkepentingan. Akibatnya harga barang di pasar resmi tidak akan laku, yang akhirnya produsenpun terpaksa menurunkan harga barangnya agar laku terjual.
Kemudian selain Floor Price, kebijakan penetapan harga yang sering dilakukan dalam ekonomi konvensional adalah Ceiling Price atau penetapan harga maksimum. Bertolak belakang dengan floor price yang menjadikan harga pasar yang dianggap terlalu rendah sebagai dasar untuk penetapan tingkat harga minimum untuk melindungi produsen, maka ceiling price didasarkan pada harga pasar yang dianggap terlalu tinggi oleh pemerintah sehingga harus ditetapkan tingkat harga maksimum untuk melindungi konsumen agar barang yang dijual dapat dijangkau oleh daya belinya.
Apabila didalam pasar tidak terdapat intervensi, keseimbangan dicapai pada titik E pada harga sebesar P1 dan jumlah barang yang diperjualbelikan adalah sebanyak Q1. jika pemerintah merasa harga P terlalu rendah dan akan menyebabkan tidak memadainya keuntungan yang diperoleh oleh produsen bahkan merugi, pemerintah akan menjalankan kebijakan Floor Price sehingga harga berubah dari P1 menjadi P2. Akibat penurunan harga tersebut, penjual hanya menawarkan sebanyak Q2 sedangkan pembeli bersedia membeli sebanyak Q3. Maka dipasar akan terjadi kelebihan penrmintaan (Excess Demand). Dengan adanya kebijakan harga maksimum, konsumen mandapat tambahan surplus namun sama seperti kasus floor price kedua belah pihak sama-sama mengalami kerugian kehilangan surplus yang tidak dapat dinikmati oleh keduanya (dead weight loss). Implikasinya, kelebihan permintaan ini akan mendorong timbulnya pasar gelap yang selanjutnya menimbulkan korupsi, kolusi, ketidakteraturan harga barang dan praktek suap menyuap (Adiwarman A. Karim; 2008 hal 136).
Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penetapan harga minimum dan maksimum, yaitu timbulnya pasar gelap dan praktek kotor KKN tidak dapat dihindari oleh pemerintah. Oleh karenanya, kebijakan pemerintah menetapkan harga minimum dan maksimum dianggap gagal dan tidak menemui tujuannya. Tujuaan awal pemerintah untuk melindungi produsen dari harga yang dianggap terlalu rendah dan melindungi konsumen dari harga yang terlalu tinggi agar mempunyai daya beli nihil bahkan menimbulkan kerugian yang lebih besar dari mekanisme pasar. Kebijakan harga minimum dan maksimum harus dikaji ulang kembali oleh pemerintah sebelum dilaksanakan.
Secara umum, penetapan harga baik dibawah atau diatas harga pasar akan menyebabkan distorsi dalam perekonomian apabila penetapan harga tersebut dilakukan pada kondisi Genuine factors atau pada kondisi Non genuine factor sekalipun, artinya alasan untuk intervensi harga tidak tepat dan bukan pada kondisi dharurat dimana apabila tIdak dilakukan penetapan harga akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat umum. Distorsi tersebut antara lain (M. B. Hendrie Anto; 2003 hal 294) :
1. Terjadi senjang (gap) antara permintaan dan penawaran
2. Senjang tersebut akan menimbulkan kelebihan penawaran (excess supply) dan kelebihan permintaan (excess demand)
3. Surplus yang dinikmati lebih kecil dibandingkan mekanisme pasar
4. Akibat selanjutnya akan muncul pasar-pasar gelap (black market) yang memperdagangkan harga barang pada harga pasar
5. Pembentukan black market seringkali disertai dengan praktek-praktek kotor Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
6. Ketidakteraturan harga barang; Ibnu Qudamah (Ekonomi Islam P3EI-UII; 2009 hal 338)
Dari penjelasan diatas, kita dapat memahami kenapa Rasulullah saw. menolak untuk intervensi harga selama tidak terjadi distorsi pasar. Sahabat Rasululah Anas bin Malik berkata: Harga pada masa Rasulullah saw. membumbung. Lalu para sahabat mengadu kepada Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah, seandainya harga ini engkau tetapkan (tentu tidak membumbung seperti ini)”. Beliau menjawab, “sesungguhnya Allahlah maha pencipta, maha penggenggam, maha melapangkan, maha pemberi rizki dan maha menentukan harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap Allah, sementara tidak ada seorangpun yang menuntutku karena suatu kedzaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah”. (HR. Ahmad).
Penolakan Rasulullah saw untuk menetapkan harga dikarenakan naiknya harga pada saat itu terjadi karena faktor alamiah mekanisme pasar (genuine factor) bukan akibat distorsi. Sekalipun naik turunya harga diakibatkan oleh distorsi maka intervensi yang dikedepankan untuk mengembalikan harga pada harga pasar yang sebenarnya adalah dengan intervensi pasar, sebisa mungkin intervensi harga dihindari.
Seluruh jumhur ulama sepakat menolak intervensi harga. Bahkan, Ibnu Qudamah Al-Maqdisy yang bermazhab Hambali menolak keras intervensi harga. Beliau mengatakan: “Pemerintah tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi masyarakat. Masyarakat boleh menjual barang-barang mereka berapapun harga yang mereka sukai. Argumen yang dipakai oleh para ulama salah satunya adalah hadist diatas yang menyatakan bahwa Rasulullah saw menolak menetapkan harga sekalipun para sahabat menginginkannya kemudian Al-Quran surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan/cara yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas rela sama rela (suka sama suka) diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah maha penyayang kepadamu”.
Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menetapkan harga atas dasar rela sama rela yang digambarkan pada titik keseimbangan (price equilibrium) interaksi kekuatan permintaan dan penawaran. sedangkan intervensi harga adalah bentuk kedzaliman karena didalamnya terdapat unsur keterpaksaan seperti dikatakan oleh Syekh Taqiyyudin An-Nabhany yaitu larangan bagi konsumen untuk membeli produk dibawah harga yang telah ditentukan pemerintah dan melarang produsen/penjual untuk menjual produk diatas harga yang telah ditentukan oleh pemerintah untuk melindungi konsumen agar mempunyai daya beli. Sehingga, produsen dan konsumen tidak bisa menaikkan atau menurunkan harga sebuah produk. Ibnu Qudamah juga menjelaskan bahwa penetapan harga cenderung akan mendorong harga menjadi lebih mahal karena penjual lokal tidak mau menjual barang dagangannya dan menyembunyikannya sampai harga kembali normal. Selain itu, penjual interlokal juga tidak mau menjual barangya didaerah yang harga pasar barangnya diintervensi. Hal ini logis karena kelangkaan barang terjadi akibat keengganan penjual untuk menjual barangnya sehingga harga-harga menjadi lebih mahal. Argumen lainnya, intervensi harga akan menyebabkan distorsi pasar seperti munculnya black market yang disertai praktek kotor KKN. Karena praktek kotor KKN haram hukumnya, maka setiap jalan yang mengarah atau menuju KKN juga diharamkan sesuai kaidah fiqh: “ setiap perkara yang mengarah kepada perbuatan yang diharamkan maka hukumnya juga haram”.


b. Intervensi Harga Islami
Jumhur ulama sepakat bahwa harga yang adil adalah harga yang terbentuk karena interaksi kekuatan penawaran dan permintaan (mekanisme pasar). Mereka juga sepakat menolak intervensi harga oleh pemerintah, kecuali pada kondisi-kondisi tertentu intervensi pemerintah dalam bentuk pengendalian harga dibenarkan. Intervensi harga islami bertujuan untuk mengembalikan harga yang terbentuk akibat terjadinya distorsi pada harga pasar (price equiblirium) atau harga yang adil (qimah al-‘adl) sebagaimana diriwayatkan oleh imam muslim dari Rasulullah saw.
Tercatat ada 4 cendekiawan besar muslim klasik yang berbicara mengenai intervensi harga, yaitu Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali, Ibnu Qudamah dan Ibnu Kholdun. Diantara mereka ada yang mempunyai pandangan yang sama dalam hal intervensi pasar yaitu Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali dan Ibnu Qudamah sedangkan Ibnu Kholdun lebih menekankan pada urgensi mekanisme pasar sekalipun dalam tulisannya ditemukan anjuran untuk intervensi pemerintah tapi tidak tegas (M. B. Hendrie Anto; 2003 hal 297).
Dalam islam, pengendalian harga dilakukan dengan pertimbangan 2hal, yaitu:
1. Jenis penyebab perubahan harga. Secara garis besar penyebab perubahan harga dibagi menjadi 2, yaitu:
 Genuine Factors; adalah faktor-faktor yang bersifat alamiah atau perubahan murni pada sisi demand dan supply (Adiwarman A. Karim, 2008 hal 135). intervensi yang dilakukan adalah dalam bentuk intervensi pasar (market intervention) dengan mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran agar harga yang lebih pas terbentuk. Intervensi pasar dapat dilakukan dengan cara menambah supply barang atau menjamin kelancaran jalur perdagangan seperti dikatakan oleh Ibnu Kholdun. Genuine Factors bersifat; 1. Musiman seperti panen raya, naik turunnya harga hasil panen sangat dipengaruhi oleh supply hasil panen dipasar. Ketika panen raya tiba maka supply barang dipasarpun melimpah dan harga lebih rendah, sebaliknya ketika panen raya belum tiba harga hasil panen kembali naik karena supply hasil panen yang rendah dipasar, 2. Siklus seperti saat menjelang hari raya, karena permintaan pada saat hari raya meningkat maka harga barang juga naik tapi ketika hari raya sudah lewat, permintaan terhadap barang menurun sehingga hargapun kembali turun.
 Non Genuine Factors; faktor-faktor yang bersifat penyimpangan (distorsi) terhadap mekanisme pasar. penyimpangannya sendiri bisa dalam bentuk penyimpangan terstruktur seperti perusahaan monopoli yang bertujuan monopolistic rent (ihtikar) atau penyimpangan tidak terstruktur seperti Bai’ Najasyi, menahan barang dari peredaran (Ihtikar), Tadlis dan lain-lain. Intervensi yang ditempuh oleh pemerintah untuk menstabilkan harga adalah dengan menghilangkan distorsi sehinga harga kembali terbentuk pada titik keseimbangan pasar sebelum terjadi distorsi termasuk dengan cara menetapkan harga (price intervention).
2. Urgensi intervensi harga terhadap kebutuhan masyarakat, yaitu pada kondisi darurat. Seperti dijelaskan diatas, Intervensi harga dibenarkan apabila tidak terdapat cara lain untuk menjaga kepentingan masyarakat umum dan mencegah kemudharatan yang lebih besar kecuali dengan menetapkan harga (Muhammad Tahir Mansoori; 2009). Secara umum kondisi darurat yang dimaksud adalah (M. B. Hendrie Anto; 2003 hal 299):
1. Kenaikan harga diluar kewajaran seperti digambarkan oleh Al Zaylani hingga 2kali lipat dari pasar yang normal sehingga masyarakat tidak mempunyai daya beli,
2. Menyangkut barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya bahan pangan,dan
3. Terjadi ketidak adilan atau eksploitasi antara pelaku-pelaku dalam transaksi tersebut.
Intervensi pasar untuk kasus genuine factors dilakukan dengan cara mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran, salah satunya menjamin kelancaran jalur perdagangan dan atau dengan menambah supplay barang. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan Umar bin Khottob ketika terjadi kenaikan harga gandum diMadinah. Beliau kemudian melakukan impor gandum besar-besaran dari mesir sehingga harga menurun tujuannya agar terjangkau oleh daya beli masyarakat yang lemah akibat harga yang melambung tinggi. Tapi ternyata usaha beliau tidak cukup, kemudian membuat kupon kepada faqir miskin untuk ditukarkan dengan gandum (Yakob; 1983).
Untuk non genuine factors, Bentuk kasusnya yang paling dikecam oleh rasulullah saw adalah ihtikar. Dalam hadistnya yang diriwayatkan oleh imam muslim beliau bersabda: “Tidaklah orang yang melakukan ihtikar itu kecuali ia berdosa” kemudian berikutnya “siapa yang melakukan ihtikar maka ia berdosa” dan hadist dari Abi Umamah, ia berkata: “Rasulullah melarang melakukan ihtikar terhadap bahan makanan pokok”.
Banyaknya hadist yang melarang praktek ihtikar menjadikan dasar kesepekatan bagi para ulama untuk mengharamkannya, karena dilihat dari sisi ekonominya banyak dampak negative dari praktek ihtikar salah satunya harga barang hasil ihtikar menjadi lebih mahal. Tapi, banyaknya pemahaman yang salah berkaitan dengan ihtikar yang menyamakannya dengan monopoli dan penimbunan maka perlu diketahui batasan-batasan yang jelas yang menjelaskan bahwa praktek tersebut adalah ihtikar. Secara umum suatu praktek ekonomi dikategorikan ihtikar apabila:
1. Mengupayakan supply barang dipasar rendah/sedikit baik dengan cara menimbun stock, mengenakan entry barriers atau dengan memproduksi lebih sedikit barang dari kemampuan maksimal untuk memperoleh keuntungan yang lebih banyak (diatas keuntungan normal) khususnya bagi perusahaan monopoli (monopolistic rent)
2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum munculnya kelangkaan
3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum dua komponen diatas dilakukan. (Adiwarman A. Karim; 2008 hal 154)
Praktek ihtikar pada perekonomian modern saat ini adalah monopolistic rent yang dilakukan oleh banyak perusahaan monopoli.
Perusahaan monopili dilarang untuk menentukan harga semaunya. Oleh karena itu, pemerintah melakukan intervensi harga yang berpatokan pada harga pasar. Keuntungan yang besar yang diperoleh oleh monopoli dengan memproduksi barang ketika kurva MR=MC=S tidak dibenarkan, karena sebenarnya perusahaan mampu lebih dari itu untuk memproduksi barang yaitu pada saat kurva S=MC=D sehingga harga yang terbentuk lebih rendah tetapi perusahaan monopoli tetap memperoleh keuntungan yaitu pada posisi keuntungan normal. Intervensi harga seperti ini, tidak akan menimbulkan excess supply atau demand seperti yang terjadi di kenvensional karena intervensi harga islami menetapkan harga pada harga keseimbangannya sebelum terjadi ihtikar bukan menetapkan harga diatas atau dibawah harga keseimbangan. Berikutnya transaksi yang dilarang dalam islam yang akan mengakibatkan distorsi pasar adalah Bai’ Najasyi atau menciptakan permintaan palsu sehingga harga barang yang diminta menjadi lebih mahal. Intervensi harga yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan menghilangkan distorsi sehingga harga kembali terbentuk sebelum terjadi distorsi.
Intervensi harga (dalam bentuk pematokan harga) terjadi karena market price tidak terbentuk yang diakibatkan oleh terjadinya distorsi dalam pasar. Solusi islam agar harga yang terbentuk adalah market price dengan mencegah terjadinya distorsi pasar, bentuknya dengan melarang praktek ihtikar dan bai’ najsyi dan membuka akses informasi dan lainnya. Tugas ini menjadi tanggung jawab pemerintah atau dalam khazanah keilmuan ekonomi islam klasik adalah menjadi tanggung jawab lembaga hisbah. Secara garis besar tugas Al Hisbah adalah melakukan pengawasan terhadap kecukupan barang dan jasa dipasar, perindustrian, jasa, perdagangan, pengawasan kota dan pasar dan pengawasan terhadap keseluruhan pasar. Sehingga dengan adanya pengawasan dari pemerintah atau al hisbah diharapkan distorsi pasar tidak terjadi sehingga harga yang terbentuk adalah harga pasar.
C. Daftar Pustaka
1. Karim, AdiwarmanAzwar, 2008, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta
2. Sukirno, Sadono, 2005, Mikro Ekonomi; Teori Pengantar, Edisi Ketiga, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta
3. Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung, 2004, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro Ekonomi dan Makro Ekonomi), Edisi Revisi, Penerbit FE-UI, Depok-Jawa Barat
4. P3EI UII Yogyakarta, 2009, Ekonomi Islam, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta
5. Mannan, M. A, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta
6. Qardhawi, Yusuf, Dr, 1995, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, Jakarta
7. Jusmaliani, Masyhuri dkk, 2005, Kebijakan Ekonomi dalam Islam, Kreasi Wacana, Yogyakarta
8. Anto, M. B. Hendrie, 2003, Pengantar Ekonomika Mikro Islam, Penerbit FE-UII, Yogyakarta
9. Mansoori, Muhammad Tahir, Prof, Dr, 2010, Kaidah-kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis, Ulil Albab Institut Pasca Sarjana UIKA, Bogor-Jawa Barat
10. Sakti, Ali, 2007, Analisis Teoritis Ekonomi Islam: Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern, Paradigna dan Aqsa Publishing, Jakarta
11. An-Nabhany, Taqiyyudin, 2010, Sistem Ekonomi Islam,........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar