Sabtu, 29 Januari 2011

Optimalisasi Peraturan Tata Ruang Pasar Modern

Sebelum keberadaan Peraturan Presiden No. 112 tahun 2007 tentang “Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, tempat perbelanjaan dan toko modern”, kondisi pasar tradisional diindonesia saat itu dilanda kerugian dikarenakan pasar modern berdiri pesat[i] dengan fasilitas yang lengkap dan berdekatan dengan lokasi pasar tradisional, padahal harusnya pemerintah menjadikan lokasi usaha sebagai titik perhatian diawal agar tidak merugikan pasar tradisional[ii] yang notabenenya usaha kecil dan menengah. Akibatnya, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU banyak menerima laporan persaingan usaha tidak sehat dari pedagang pasar tradisional disebabkan pasar modern memiliki kekuatan untuk mengeksploitasi pemasok sehingga harga jual barangnya cenderung lebih rendah dengan produk yang lebih beragam dan berkualitas dari pasar tradisional.
Tapi, keberadaan pasar modern tidak sepenuhnya negatif, karena disisi lain munculnya pasar modern juga dapat mengurangi jumlah pengangguran dengan tersedianya lapangan pekerjaan baru hingga mampu menampung pekerja sebanyak 18,9 juta pekerja atau kedua terbesar setelah sektor pertanian 48,1 juta orang[iii]. Oleh karena itu, untuk menjembatani antara dampak negatif keberadaan pasar modern yang menyebabkan kerugian atau tersingkirnya pasar tradisional dan dampak positifnya maka dibuatlah Peraturan Presiden No. 112 tahun 2007 tentang “Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Tempat Perbelanjaan dan Toko Modern” atau yang lebih dikenal dengan perpres pasar modern. Perpres ini memuat enam pokok masalah, yaitu: definisi, zonasi, kemitraan, perizinan, syarat perdagangan (trading term), kelembagaan pengawas dan sanksi, dan UU No. 26 tahun 2007 tentang “Penataan Ruang” untuk mengatur lokasi keberadaan pasar modern agar tidak terjadi tumpang tindih antara pasar modern dengan pasar tradisional yang merugikan pasar tradisional karena persaingan yang tidak sehat.
Pada mulanya, dengan adanya Peraturan Perundang-undangan ini diharapkan dapat mewujudkan persaingan yang sehat antara pasar modern dengan pasar tradisional sehingga tidak terjadi lagi kasus pengaduan persaingan tidak sehat karena pesar tradisional merugi akibat kehadiran pasar modern. Tapi, fakta yang terjadi dilapangan ternyata jauh berbeda dari yang diharapkan. Faktanya, masih banyak pasar modern yang berdiri berdekatan dengan pasar tradisional sehingga mengganggu dan merugikan pasar tradisional bahkan ada oknum-oknum tertentu yang berusaha untuk menyingkirkan pasar tradisional untuk mendirikan pasar modern. Kasus pendirian Carrefour di CBD Ciledug, Kota Tangerang-Banten harusnya menjadi tolak ukur dan pertimbangan untuk perbaikan dan penyempurnaan peraturan presiden tentang pasar modern. Awalnya keberadaan Carrefour ini ditolak oleh para pedagang tradisional disekelilingnya, tetapi bisa operasi secara mulus tepat menjelang natal tahun 2007[iv]. Dari kejadian diatas, terdapat dua kesan negatif terhadap pemerintah dan hukum diindonesia, yaitu kurangnya perhatian pemerintah pusat terhadap tata letak pasar modern dan pelaksanaan hukum terkesan cenderung melindungi kelompok yang memiliki uang dalam hal ini pasar modern.
Peraturan tentang tata letak atau zonasi mempunyai peranan yang penting untuk melakukan pengaturan dan penataan lokasi berdirinya pasar modern dan harusnya menjadi perhatian utama pemerintah. Tapi, pada kenyataanya pemerintah (pusat) belum maksimal menjadikan hal ini sebagai perhatian dan pertimbangan utama untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan terkait pasar modern. Hal ini dibuktikan dengan pengalihan wewenang perizinan dan penataan letak pasar tradisional dan modern kepada pemerintah daerah (pemda) yang termuat dalam Peraturan Presiden RI No. 112 tahun 2007 BAB II tentang penataan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 ayat 1 dan BAB IV tentang perizinan pasal 12 ayat 3. Hal ini menunjukan bahwa pamerintah terkesan cuci tangan terkait tata letak pasar modern padahal seperti dikemukakan diawal bahwa tata letak merupakan permasalahan krusial karena tidak konsisten dipatuhi yang akhirnya membenturkan keduanya.
Untuk itu, sekalipun wewenang pendirian ini berada di tangan pemda, pemerintah pusat tetep harus mengontrol agar tidak terjadi penyelewengan terhadap peratuan yang ada mengingat peratuan tentang tata ruang pasar modern ini banyak dilanggar oleh pemda untuk mencari tambahan PAD, jangan sampai pemerintah pusat terlihat cuci tangan terhadap masalah ini. Selain itu pemda selaku regulator didaerah juga haus memperhatikan kepentingan nasib pedagang dan pengusaha kecil-menengah dan memberikan pembinaan agar mereka juga maju dan dapat bersaing dengan pasar modern yang ada.


[i] Berdasarkan data terakhir yang penulis dapatkan, survey yang dilakukan AC Nielsen (2006) menunjukkan pangsa pasar pasar modern meningkat 11,8% selama lima tahun terakhir (2001-2006) yang berarti peralihan konsumen sebesar 11,8% dari pasar tradisional kepasar modern, dari artikel “Pasar Tradisional vs Pasar Modern” oleh Akadsolo
[ii] http://kompas.com/kompas-cetak/0703/20/ekonomi/3396296.htm.
[iii] Ibid, Posted by Indra Sri Wulandari on February 3, 2009
[iv] Artikel “Pasar Tradisional vs Pasar Modern” oleh Akadsolo

1 komentar:

  1. zonasi pasar modern dengan pasar tradisional, harusnya perlu diperhatikan...

    BalasHapus